"Siapa yang pagi tadi sarapan nasi pecel?"
Tanya Pak De kepada kami seisi kelas yang masing-masing baru saja membuka tas, untuk mengeluarkan buku pelajaran berikut buku catatannya, ketika Pak De menanyakan sarapan kami pagi ini. Nasi Pecel!?
Sontak, lebih dari separuh kelas, termasuk saya mengangkat tangan kanan dan mengacungkan jari telunjuk masing-masing, mengaku sarapan pagi dengan nasi pecel. Menu sarapan khas kampung kami di kaki Gunung Lawu.
"Terus yang lain, sarapan apa?" Tanya Pak De lagi sambil mengarahkan pandangan ke seluruh ruang kelas.
"Kulo blendrang gori kalih ndok bebek di dadar, Pak De! Minume wedang jahe". Sugeng Riyadi, temanku yang paling gendut mengangkat tangan sambil berteriak nyaring.
"Saya sarapan nasi goreng sama telur ceplok, minumnya wedang teh, Pak De!" Kali ini Sri Rejeki, anak paling pintar di kelasku ikut menyuarakan sarapan spesialnya.
"Kalau kamu le, Rahmad!" Tanya Pak De, kepada satu-satunya teman kami sekelas yang bersama keluarganya merupakan pendatang dari Pulau Sumatera. Tepatnya Palembang, Sumatera Selatan.
“Saya makan pagi dengan lauk Pindang Ikan Patin, Pak De!” Jawabnya dengan logat bicara khasnya yang kami suka.
“Weeeh enak Kabeh sarapane! Baiklah, Sebenarnya Pak De hanya ingin menyampaikan, bahwa kalian semua sangat beruntung, setiap pagi diberi Tuhan rezeki untuk sarapan pagi sebelum berangkat sekolah dan satu lagi, menu-menu sarapan kalian, semuanya makanan-makanan tradisional nusantara, khas Indonesia!"
"Selain enak-enak semuanya, kalian dan juga ibu yang menyiapkan sarapan di pagi hari, telah melestarikan salah satu kekayaan tradisi dan budaya kita. Kalian wajib bersyukur untuk itu semua!"