Setiap bulan Ramadan tiba, di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas! dan juga daerah-daerah lain di Kalimantan Selatan selalu muncul beberapa fenomena unik terkait bulan Ramadan diantara beragam aktivitas sosio-relijius masyarakatnya.
Salah satunya yang selalu aktual dan faktual, sekaligus menggemaskan adalah fenomena kemunculan warung sakadup atau sering diplesetkan menjadi Warung Skadup yang secara tradisional oleh Urang Banjar biasa dimaknai sebagai warung makan yang bagian depannya ditutup (kain) sebagian, sehingga dari luar hanya terlihat kaki kursi dan juga kaki pengunjung warungnya saja.
Jadi pada dasarnya, warung sakadup ini sebenarnya warung makan biasa yang biasanya berjualan di hari-hari biasa di luar bulan Ramadan.
Sedangkan istilah atau label sakadup ditambahkan, ketika warung-warung ini memilih tetap berjualan di siang hari selama bulan Ramadan.
Baca Juga : "Banjir" Belungka Batu, Tanda-tanda Urang Banjar Bersiap Memasuki Bulan Ramadan
Tapi karena secara tradisi, berjualan makanan dan minuman di siang hari selama bulan puasa di lingkungan Urang Banjar yang sejak berabad-abad silam telah menjadikan Islam sebagai way of life dianggap pamali, menyebabkan aktifitas ini tidak bisa dilakukan sembarangan, apalagi setelah label pamali ini diformalkan dalam bentuk peraturan pemerintah daerah!
Karenanya, pemilik warung sakadup akan menutup bagian depan warung dengan kain, terpal, banner atau apa saja yang bisa menghalangi pandangan dari luar ke dalam warung.
Maksudnya, mungkin saja agar pengunjung yang sedang "beraktifitas" di dalam warung tidak merasa risih sehingga tidak bisa menikmati secara maksimal "aktifitasnya", karena terlihat dari luar.
Uniknya, alat penutup ini selalu dibuat tidak sempurna! Seperti di sengaja, umumnya bagian bawah warung yang memperlihatkan kaki kursi dan kaki pengunjung warung tetap dibiarkan terbuka, sehingga tetap terlihat dari luar. Inilah yang disebut sebagai warung sakadup. Unik dan menggemaskan bukan?
Sejak abad ke-16 yang ditandai dengan berdirinya Kesultanan Banjar yang juga sekaligus menjadikan agama Islam sebagai agama resmi kesultanan, secara otomatis sejak saat itu konstruksi budaya masyarakat Banjar berafiliasi kepada ajaran agama Islam, hingga sampai sekarang diantara keduanya saling berpilin dan berkelindan satu sama lain, hingga kemudian muncul ungkapan Banjar itu Islam dan Islam itu Banjar.