Lihat ke Halaman Asli

kaekaha

TERVERIFIKASI

Best in Citizen Journalism 2020

Diary Personalia | Asal Normatif, Ijin dan Jenis Cuti Apapun Seharusnya Tidak Perlu Dipermasalahkan!

Diperbarui: 5 Juni 2021   07:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tenaga Kerja di Pabrik | majalahpeluang.com

Pada dasarnya yang namanya ijin untuk tidak masuk kerja, apapun jenisnya, entah karena sakit, karena kondisi darurat dan apalagi cuti, apapun jenis cutinya (jenisnya bisa dilihat di UU ketenaga kerjaan No. 13 Tahun 2003), asal prosesnya dilakukan secara normatif, sesuai dengan peraturan yang berlaku di perusahaan yang umumnya terperinci dalam PP (Peraturan Perusahaan) atau  dalam KKB (Kesepakatan Kerja Bersama), seharusnya tidak perlu lagi dipermasalahkan.

Selain karena kedua jenis "peraturan" diatas sudah pasti sesuai dengan aturan normatif dalam perundang-undangan yang berlaku, yang biasanya dibuktikan oleh pengesahan atau legalisasi oleh pejabat dari Dinas Ketenagakerjaan, pada dasarnya ijin untuk tidak masuk kerja merupakan hak normatif semua pekerja.

Maknanya, kalau ijin untuk tidak masuk kerja apapun jenisnya menjadi masalah dan akhirnya bermasalah, pasti ada yang tidak beres! Entah dari sisi aturan dan peraturan turunannya, orang-orangnya yang berkepentingan (baik manajemen maupun karyawan) dan atau kombinasi keduanya.

Jika memakai "kacamata" hitung-hitungan matematis, yang namanya ijin untuk tidak masuk kerja, mau sehari, dua hari, apalagi lebih dari itu,  jelas merugikan perusahaan. Sudah tidak menghasilkan apa-apa, masih digaji penuh pula! Apalagi kalau perusahaan tersebut lebih banyak mempekerjakan tenaga kerja perempuan yang jenis cutinya lebih banyak dan durasinya lumayang panjang.

Jangankan memakai hitungan hari, dalam ilmu house keeping manajemen, kerugian waktu produktif yang hilang akibat tindakan tidak efektif dari seorang operator-pun bisa dihitung.

Misalkan, operator mesin rajut pada industri tenun yang umumnya bekerja dengan sedikit menunduk, setiap beberapa menit bagi yang punya rambut poni, pasti risih dan selalu berusaha menyingkap rambutnya dengan salah satu tangan. Padahal tindakan ini mempunyai konsekuensi, terhentinya aktifitas tangan untuk menambah larik rajutan. 

Baca Juga :  Diary Personalia | Pacaran 10 Tahun, Eh ... Giliran Nikah Cuma Bertahan 3 Bulan

Jika, setiap 3 menit ada aktifitas menyingkap rambut dan melewatkan 1 larik rajutan, berapa larik rajutan yang hilang dalam satu jam, satu shift, satu hari, satu minggu dan seterusnya! Itu baru satu operator, lha kalau dikalikan jumlah semua operator, berapa ratus meter kerugian perusahaan?

Tapi, karena urusan ini sudah diatur secara jelas dalam sebuah perangkat hukum bernama Undang-Undang yang tentunya mengacu pada standar hukum ketenagakerjaan internasional, yang beberapa bagian didalamnya juga menyentuh klausul hak asasi manusia, maka tidak ada alasan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk tidak mematuhinya.

Hanya saja, tentu kita semua pasti sangat mafhum dengan keadaan, keunikan sekaligus kecerdikan orang-orang Indonesia yang ada-ada saja akalnya! 

Apalagi kalau ketemu dengan person yang berpaham "peraturan dibuat untuk dilanggar" atau "peraturan kan adanya diatas kertas, kita kerja di lapangan!". Sudah begitu, uniknya peraturan-peraturan kita juga banyak yang ambigu dan multitafsir, sehingga memberi celah untuk diakali. Nah loooo!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline