Kesultanan Banjar yang berdiri pada abad ke-16 secara resmi menjadikan Islam sebagai sumber rujukan utama tata kelola kenegaraan, meskipun masyarakat Suku Banjar-nya sendiri menurut para sejarawan justeru mengenal Islam jauh sebelum agama Islam menjadi agama resmi kesultanan.
Mereka mengenal Islam dari saudagar-saudagar muslim Pulau Jawa yang melakukan kontak dagang di beberapa titik pesisir Pulau Kalimantan bagian tenggara yang sekarang masuk wilayah Kalimantan Selatan, salah satunya yang paling terkenal saat itu adalah di Muara Bahan yang sekarang lebih dikenal sebagai Kota Marabahan, ibu Kota Kabupaten Barito Kuala.
Baca Juga : Ketika "Urang Banjar" Berlebaran
Akhirnya Islam benar-benar menemui momentumnya untuk berkembang lebih luas di Kalimantan, setelah Pangeran Samudera dengan didukung oleh beberapa tokoh penting mendirikan Kesultanan Banjar yang menjadikan Islam sebagai agama resmi kesultanan, sedang beliau sendiri setelah memeluk Islam mengganti namanya menjadi Sultan Suriansyah.
Sejak saat itulah Islam dengan segala pernak-perniknya menjadi identitas spiritual dan cultural yang begitu melekat pada masyarakat suku Banjar, hingga pertalian antara Islam dan Suku Banjar saling bertaut menjadi identitas masing-masing, layaknya idiom Islam itu Banjar-Banjar itu Islam.
Jejak-jejak kedekatan diantara keduanya masih tampak sangat jelas sampai detik ini, baik dalam bentuk ritus adat (personal maupun komunal), falsafah kehidupan, hukum, tradisi dan juga berbagai peninggalan fisik seperti arsitektur masjid, surau dsb.
Salah satu tradisi adat Kesultanan Banjar yang sampai sekarang masih menjadi inspirasi"ber-muamallah" Urang Banjar secara komunal alias menjalani kehidupan sehari-hari adalah adat badamai.
Baca Juga : Balada "Ora Bisa Mulih"-nya Didi Kempot Ini Mewakili Sungkemku
Tradisi adat badamai yang juga lazim disebut dengan babaikan, baparbaik, bapatut atau mamatut ini bersumber dari Undang-Undang Sultan Adam yang resmi diundangkan pada tahun 1835 dan lebih dikenal sebagai UUSA 1835, yaitu Undang-Undang Kesultanan Banjar yang terbit diera kepimpinan Sultan Adam Al-Wastsiq Billah yang memerintah pada tahun 1825-1857.
Secara spesifik, bagian dari UUSA 1835 yang menjadi rujukan adat badamai ini adalah bagian Pasal 21 yang isi bunyinya adalah "Tiap kampung kalau ada perbantahan isi kampungnja ija itu tetuha kampungnja kusuruhkan membitjarakan mupaqat-mupaqat lawan jang tuha-tuha kampungnja itu lamun tiada djuga dapat membitjarakan ikam bawa kepada hakim"