Sejak lama Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas yang juga dikenal sebagai bandar perdagangan tua di nusantara, menjadi tempat bertemunya para saudagar dari berbagai belahan dunia.
Bahkan menurut Magotaro, awak kapal Jepang yang terdampar di Mindanau, Filipina pada 1765 karena dihantam badai yang akhirnya ditangkap dan dijadikan budak oleh penduduk setempat, hingga akhirnya dijual kepada Taikonkan, saudagar dari negeri China asal Zhengzou yang tinggal di Banjarmasin.
Pelabuhan Banjarmasin yang berada ditepi sungai selalu ramai dengan ribuan kapal asing dari Cina, Belanda dan lain-lainnya yang sedang lego jangkar.
Melihat fakta Banjarmasin tempo dulu berdasarkan catatan hasil wawancara Aoki Okikatsu (wafat 1812) dengan Magotaro, jelas membuka gambaran situasi sosial ekonomi dan budaya Kota 1000 Sungai di masa lampau yang begitu egaliter.
Tidak heran jika kemudian banyak juga ditemukan hasil akulturasi beragam budaya dalam budaya sungai, khas Urang Banjar, salah satunya adalah ranah budaya kuliner.
Salah satu kuliner khas Kota 1000 Sungai hasil akulturasi budaya dengan pendatang yang paling mudah dilihat adalah kuliner Selada Banjar dan Mie Bancir. Nah, apa pula itu Mie Bancir? Namanya kok familiar gitu ya?
Jika olahan kuliner Selada Banjar pernah saya ulas dalam artikel berjudul Selada Banjar, "Kuliner Anomalis" Beraroma Eropa Bercita Rasa Banua, maka sekarang giliran Mie Bancir yang akan kita bedah keunikan dan kelezatannya!
Asal Usul Nama Mie Bancir
Nama "Bancir" yang melekat pada olahan mie yang konon sudah ada sejak tahun 60-an ini selalu menjadi daya tarik yang bikin penasaran para petualang kuliner, terlebih para penikmat kuliner selain masyarakat Banjar.
Pemicunya jelas kata "Bancir" yang secara fonetis memiliki kesamaan dengan kata "banci" dalam bahasa Indonesia. Nah kebetulan, menurut kamus Bahasa Banjar, bancir artinya juga banci, bencong atau wadam.