Di sela-sela kunjungannya ke Kalimantan Selatan untuk meninjau langsung musibah banjir besar di Banua Banjar, Presiden Joko Widodo juga menyampaikan beberapa fakta menarik dalam jumpa persnya, terkait musibah banjir besar yang merendam hampir semua wilayah Provinsi Kalimantan Selatan di awal tahun 2021.
Menurutnya, fakta banjir kali ini merupakan yang terparah sejak 50 tahun terakhir atau setengah abad yang lalu. Ia menyebut tingginya curah hujan selama 10 hari terakhir di Kalsel menyebabkan Sungai Barito kewalahan menerima beban hingga 2,1 miliar kubik air dari kapasitas normalnya sebesar 230 juta meter kubik, sehingga meluap dan merendam 10 kabupaten dan kota di Kalsel.
Baca Juga : Mereduksi "Kebiasaan Anthropogenic", Pemicu Bencana Banjir di Sekitar Kita
Pernyataan Jokowi terkait penyebab banjir besar ini spontan mendapat reaksi keras dari beberapa aktivis lingkungan baik nasional maupun di Kalsel, di antaranya Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Melky Nahar dan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono.
Dilansir dari media lokal jejakrekam.com, Kisworo Dwi Cahyono mengkritik pernyataan Jokowi yang sama sekali tidak memberikan solusi terhadap akar masalah banjir, tapi justru terkesan hanya menyalahkan hujan dan sungai.
Padahal bencana banjir besar di awal tahun 2021 ini diduga kuat disebabkan oleh karut-marutnya pengelolaan sumber daya alam di Banua yang menyebabkan degradasi hutan, konflik agraria, serta darurat ruang dan darurat bencana ekologis.
Dari catatan Walhi ada 50% dari lahan di Kalimantan Selatan telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. "Tambang 33%, sawit 17%.
Karenanya, lelaki berambut gondrong ini juga mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi aturan Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Kalimantan Selatan, sekaligus juga izin-izin yang dikeluarkan secara menyeluruh. Bagus lagi jika prosesnya melibatkan masyarakat dan hasilnya dipublikasikan, biar semua tahu. Fair kan?