Lihat ke Halaman Asli

kaekaha

TERVERIFIKASI

Best in Citizen Journalism 2020

Saya Pernah Digelari "Pretty Boys" dan Dipanggil "Cah Ayu"!

Diperbarui: 25 Oktober 2020   00:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mrs. KARTIKA EKA H | @kaekaha

Tradisi Frasa "Cah Ayu"

Frasa "Cah Ayu" dalam bahasa Jawa yang berarti anak cantik, menurut fungsi leksikalnya sebenarnya merupakan ungkapan pujian untuk makhluk bernama perempuan yang tentunya dianggap cantik, tapi dalam tradisi sebagian besar masyarakat Jawa pada umumnya, frasa "Cah Ayu" dalam perjalanannya juga difungsikan sebagai frasa pengganti kata yang bermakna perempuan untuk memanggil, seperti nduk.

Frasa "Cah Ayu" biasa kita dengar dipakai para orang tua untuk memanggil anak perempuannya, kalau untuk bayi dan batita sampai balita, umumnya disebut ngudang, sejenis babytalk atau teknik berkomunikasi dengan bayi khas masyarakat Jawa, sedangkan  untuk usia setelahnya bisa jadi sebagai pujian, bentuk ekspresi kasih sayang para orang tua kepada anak perempuan atau putrinya. 

"Bener ora cah ayu?"

Bagi anak perempuan, dipanggil dengan panggilan "cah ayu" oleh orang tua atau siapa saja, tentu sangat senang sekali!  Lhaaa kalau yang dipanggil "cah ayu" itu anak laki-laki, hayo menurut anda bagaimana?

Itulah yang dulu saya alami saat mulai bersekolah di bangku TK sampai SD. Jujur, saat itu saya sendiri juga tidak tahu/tidak paham alasan semua orang disekitar saya (kaka kelas dan teman-teman seangkatan), khususnya saat di lingkungan sekolah memanggil saya dengan "cah ayu" dan menjuluki saya sebagai pretty boys, termasuk manfaat dan mudharat-nya bagi saya yang laki-laki tulen!

Mungkin karena sifat kekanakan saya yang saat itu yang masih dominan (masih polos dan belum paham dengan banyak hal ), saya sama sekali tidak merasa tertekan atau terganggu dengan anomali panggilan "cah ayu" dari sebagian besar masyarakat di lingkungan sekolah saya saat itu. Saat itu saya enjoy saja dan sama sekali tidak terganggu.  

Bahkan, saat itu saya sama sekali tidak menganggap anomali panggilan "cah ayu" itu sebagai masalah, problem atau hal-hal semakna lainnya. Toh, meskipun menurut teman-teman sekolah saya yang perempuan, fisik saya saat itu memang lebih mirip perempuan ketimbang laki-laki, tapi tetap saja saya merasa sebagai laki-laki tulen dan itu semua sama sekali tidak mengganggu "jiwa dan selera kelelakian" saya. 

Saya tetap paling jago main bola di sekolah dan dikampung, tetap paling jago main layang-layang, termasuk mengejarnya ketika kalah beradu dengan kawan lainnya dan yang terpenting, tetap menjadi imam sholat saat berjamaah dengan teman-teman sebaya jika mengaji di surau kampung di kaki sebelah timur laut, Gunung Lawu.

Sadar Berbeda Pada Waktunya!

Waktu terus berlalu, ketika duduk di kelas empat atau kelas lima, saya sering mewakili sekolah dalam beberapa lomba seperti lomba mengarang, lomba baca puisi, lomba pidato, dokter cilik,  juga lomba sepakbola dan bulutangkis di ajang PORSENI

Dari sinilah awal mula saya menyadari adanya perbedaan dalam diri saya dengan teman-teman peserta lain dari sekolah lainnya,  mulai di level wilayah kecamatan, kabupaten sampai propinsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline