Lihat ke Halaman Asli

kaekaha

TERVERIFIKASI

Best in Citizen Journalism 2020

Jaring Tahi Lala, Cara Asyik Menikmati Jengkol ala Urang Banjar

Diperbarui: 10 Februari 2020   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jaring Rebus Khas Urang Banjar (dokpri)

Jejak Jaring Nusantara
Buah pohon jengkol (Archidendron pauciflorum) atau kami Urang Banjar biasa menyebutnya dengan sebutan jaring, mirip sekali dengan duo Upin-Ipin yang biasa menyebutnya dengan sebutan  jering.

Sejauh ini lebih identik dengan ragam kuliner khas olahan masyarakat Betawi, terutama yang paling masyhur adalah semur jengkol yang terkenal ke seantero Nusantara gara-gara tokoh Pak Ogah dalam serial boneka Si Unyil yang tayang di TVRI tahun 80-90 an sering menyebut sebagai masakan kesukaannya.

Selain itu, sebagai salah satu kuliner legendaris ibu kota, konon lahirnya olahan semur jengkol  juga menggambarkan wajah Jakarta di masa lalu yang masyarakatnya (Betawi) memang  gemar menanam pohon jengkol di pekarangan rumah, seperti di wilayah Pondok Gede dan Lubang Buaya yang sekarang dikenal sebagai dua daerah pengolah semur jengkol paling enak di Jakarta.

Sayangnya, menurut sejarawan JJ Rizal, memang tidak ada catatan resmi dan spesifik terkait awal mula pemanfaatan buah jengkol untuk konsumsi masyarakat Nusantara termasuk masyarakat Betawi di ibu kota. 

Uniknya, jaring alias jengkol yang dulunya  identik dengan makanan rakyat miskin, rakyat pinggiran dan masyarakat kelas bawah lainnya karena bau khas buahnya yang kurang sedap, apalagi bau tidak sedap pada urin setelah diolah dan diproses oleh pencernaan (terutama jika dimakan segar sebagai lalap), sepertinya sekarang mulai populer kembali tidak hanya di lingkungan masyarakat Betawi di seputaran Jakarta saja, tapi juga di berbagai daerah lain di Indonesia.

dokpriJengkol/Jaring Lengkap dengan Lalaan (dokpri)

Bagi Urang Banjar dan sebagian besar masyarakat Kalimantan Selatantanaman asli dan khas kawasan tropis Asia Tenggara yang mempunyai nama berbeda-beda di tiap daerah atau negara.

Seperti sebutan  jengkol atau "erring" di Jawa, lubi di Sulawesi, jariang di Minangkabau/Sumatera Barat, jaring di Lampung, joring atau jering di Batak/Sumatera Utara, juga sebutan "jering" di Malaysia, "da nyin thee" di Myanmar dan  "luk-nieng" atau "luk neang" di Thailand ini bukanlah sesuatu yang asing. 

Bahkan, Urang Banjar sejak lama telah mempunyai budaya kuliner ikonik berbahan dasar dari jaring atau jengkol yang juga telah melegenda, yaitu jaring tahi lala. Uniknya, kuliner ini bukanlah untuk lauk atau sayur elemen teman makan nasi layaknya semur jengkol khas Betawi, tapi lebih sebagai kudapan, penganan atau bisa juga disebut sebagai camilan. Unik kan?

Lhaaaah kok bisa, jengkol yang banyak dihindari oleh banyak masyarakat karena bau "daging-nya" dan juga hasil ekskresi-nya dalam bentuk urine yang biasa meninggalkan bau sangat tajam menusuk hidung kok bisa diolah menjadi kudapan?


Pertanyaan seperti di atas sudah biasa terdengar dari masyarakat di luar bumi Banjar atau Kalimantan Selatan dan atau juga masyarakat yang terlajur phobia bahkan trauma dengan beragam predikat minor jaring alias jengkol terlebih dulu sebelum mencoba merasakan "legitnya" camilan  jaring tahi lala khas Banjar ini.

Tapi kalau sudah mencoba, ekspresinya pasti tidak akan jauh berbeda dengan Deddy Corbuzier dan Rico Ceper host program acara Hitam-Putih di Trans 7 yang langsung jatuh cinta dengan jaring tahi lala olahan Hj Fatimah saat pertama kali mencobanya langsung dalam program acara Hitam-Putih. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline