Lihat ke Halaman Asli

Kartika E.H.

TERVERIFIKASI

2020 Best in Citizen Journalism

Ketika Orang Banjar Naik Haji

Diperbarui: 30 Desember 2018   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Emad Sedang Berdoa di Masjidil Haram (Foto : @kaekaha)

Islam dan Orang Banjar

Masyarakat Banjar dikenal mempunyai akar kebudayaan Islam yang sangat kuat. Sejarah interaksi diantara keduanya dimulai sejak berdirinya Kesultanan Banjar sekitar 5 abad  yang lalu. 

Sejak saat itu Islam dengan segala pernak-perniknya menjadi identitas spiritual dan cultural masyarakat suku Banjar. Sampai sekarang, jejak-jejak kedekatan diantara keduanya masih tampak jelas, baik dalam bentuk ritus (personal maupun komunal), falsafah kehidupan, tradisi dan juga berbagai peninggalan fisik seperti arsitektur masjid, surau dsb.

Baca Juga : Bertemu Bintang Sepakbola di Masjidil Haram 

Sejak jaman keemasan Kesultanan Banjar, Kota lama Banjarmasin yang lokasinya di muara Sungai Kuin di tepian Sungai Barito, telah menjadi bandar perdagangan penting sekaligus pintu masuk utama pergerakan manusia dan barang dari dan menuju pedalaman Pulau Kalimantan. Sedangkan masyarakat Banjarnya sendiri sejak saat itu semakin mengukuhkan identitas komunalnya sebagai bangsa pedagang yang ulung. 

Uniknya, pilihan hidup komunal Urang Banjar menjadi pedagang yang ulung ini, ternyata juga terinspirasi oleh sosok Rasulullah, Muhammad SAW yang notabene (awalnya) juga seorang pedagang yang ulung.

Selain itu, inspirasi Rasulullah semakin berurat dan berakar dalam alam bawah sadar masyarakat Banjar ketika Hadits , “Pedagang yang dapat dipercaya dan jujur akan bersama-sama dengan para nabi, shiddiqin, syuhada.” (HR. At Tirmidzi), ini dijadikan rujukan masyarakat Banjar dalam ber-muamallah khususnya dalam perdagangan. 

Perdagangan di Pasar Terapung Banjarmasin (Foto : @kaekaha)

Masyarakat Banjar sangat familiar dengan ungkapan "Umur tidak berbau" (teks asli dalam bahasa Banjar "Umur Kada Babau"), yaitu sebuah ungkapan bahari (tua) yang secara umum bisa dimaknai sebagai ajal atau maut bisa datang kapan saja. Ungkapan ini terinspirasi dari hadist nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.”

Ungkapan "Umur tidak berbau" ini merupakan ungkapan yang paling populer di kalangan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan setelah Lafaz  Inna Lillahi wa inna ilayhi raji'un  ketika mendengar kabar berita kematian atau meninggalnya seseorang.

Baca Juga : Mohon... Jangan Naik Haji Lagi!

Ungkapan bertuah ini telah lama menjadi sugesti bagi masyarakat Banjar "untuk selalu ingat mati" khususnya disaat yang tepat, karena dengan mengingat mati, diyakini masyarakat Banjar akan melembutkan hati, qana’ah dan lebih berhati-hati dalam proses ber-muamallah, baik dalam konteks Hablumminannas maupun Hablumminallah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline