Setiap daerah di Indonesia mempunyai ciri khas seni tradisi dan budaya yang biasanya tumbuh dan berkembang dari berbagai bentuk kearifan lokal endemic yang akan terus ada atau bahkan semakin berkembang jika terus dijaga dan dirawat dengan benar.
Baca Juga Yuk! : Jembatan Gantung Tandipah, Mengantarku Pulang dari Pasar Terapung Lok Baintan
Pulau Kalimantan sejak lama dikenal sebagai salah satu Pulau penghasil kayu-kayu bermutu tinggi dengan kuantitas besar, tidak heran jika kemudian banyak tradisi budaya masyarakat di Kalimantan yang tumbuh dan berkembang dari "sebatang" kayu.
Salah satu contoh yang paling mudah untuk di lihat adalah kearifan lokal masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan dalam membuat rumah berikut ragam hias dan perabotannya yang hampir semuanya terbuat dari kayu!
Salah satu ciri khas rumah adat Banjar yang paling menonjol disamping bahan baku utama yang biasa di sebut kayu besi atau kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) adalah keberadaan aneka motif ukiran khas Banjar, jamang untuk penghias ujung atap yang biasanya berbentuk stylisasi dari Burung Enggang, Binatang Mitos seperti Naga atau juga dedaunan.
Selain itu, beberapa ornamen hias berbentuk buah-buahan lambang kemakmuran dan suka cita seperti buah nenas, manggis dan yang lainnya juga menjadi pelengkap indahnya rumah adat Banjar.
Khusus untuk pagar, masyarakat Banjar juga mempunyai semacam kekhasan yang tidak kalah uniknya. Pagar kayu ulin untuk rumah kayu bertingkat atau juga untuk pagar beranda atau teras ini mempuyai bentuk dan pola yang mirip dengan atang yang biasanya dipakai untuk pagar di makam. Bedanya, kalau atang untuk kubur ukuran kayunya tidak terlalu tinggi seperti untuk pagar.
Baca Juga : Motif Sasirangan Mempercantik Dinding Pasar Malabar, Banjarmasin
Fungsi atang mirip dengan kijing berbahan semen pada penutup makam-makam masyarakat di Pulau Jawa. Bedanya, kalau kijing semen akan menutup semua permukaan makam (tanah makam sama sekali tidak akan terlihat lagi jika sudah ditutup kijing semen), maka atang yang berbahan kayu ulin ini hanya sekedar memberi batas tanah makam saja, sedangkan permukaan makam yang berupa tanah masih terlihat jelas karena sama sekali tidak tertutup.
Menurut saya, atang ini merupakan salah satu kearifan lokal suku Banjar yang bisa menjadi jalan tengah bagi polemik boleh tidaknya makam di tutup semen atau dikijing semen seperti makam-makam di Pulau Jawa.
Seiring dengan laju modernisasi dan isu lingkungan global terkait konservasi hutan-hutan alam di seluruh dunia, termasuk hutan hujan tropis Kalimantan yang telah lama dikenal sebagai paru-paru dunia, berdampak langsung pada menurunnya produksi hasil kayu dari hutan Kalimantan.
Dampak ini menyebabkan beberapa pergeseran dalam budaya masyarakat lokal Kalimantan, khususnya budaya lokal yang berhubungan dengan batang-batang kayu tentunya, seperti budaya membangun rumah berbahan kayu khas masyarakat Banjar.
Dalam dua dekade terakhir, sangat jarang terlihat masyarakat Banjar yang membangun rumah dengan bahan baku utama kayu ulin. Masyarakat Banjar sekarang lebih pragmatis, ketika berbagai macam jenis kayu untuk bahan membuat rumah mulai susah didapat dan kalaupun ada tapi harganya sangat mahal, maka jalan keluarnya adalah merubah orientasi dari rumah kayu menjadi rumah semen.
Selain bahan baku kayu lebih mahal dan mulai susah dicari, tidak jarang untuk bahan kayu-kayu tertentu seperti kayu ulin yang dilindungi, urusan administrasi perijinannya ribet dan berbelit-belit bahkan tidak jarang harus berurusan dengan pihak yang berwajib.
Kebetulan, masyarakat adat suku Banjar relatif terbuka untuk menerima dan menyerap pengaruh budaya luar selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip budaya Banjar yang sebagian besar mengadopsi dan memadupadankan kearifan lokal Kalimantan dengan kesahajaan budaya ajaran Islam yang rahmatn lil'alamin
Baca Juga : Cerita Masjid Tua Tanpa Nama di Sungai Jingah