Kelainan atau cacat bawaan yang satu ini tergolong unik! Berbeda dengan bentuk-bentuk kelainan organ fisik manusia lainnya yang obyek kelainannya maupun efeknya biasanya bisa dirasakan oleh si-penderita, sedangkan dari sisi visualitas, umumnya kelainan fisik bisa terlihat atau teridentifikasi oleh orang-orang di sekitarnya.
Hal ini tidak berlaku bagi kelainan buta warna! Jangankan orang lain, penyandangnya atau penderitanya sendiri banyak yang tidak menyadarinya sebelum akhirnya berbenturan dengan moment-moment penting dan menentukan saat ingin melanjutkan pendidikan atau mendaftar kerja, karena kelainan buta warna haram hukumnya bagi jalur pendidikan berbasis eksakta, seperti pendidikan kedokteran, teknik, pertanian, dsb.
Otomatis, aturan ini juga berlanjut alias berlaku juga untuk bidang pekerjaan yang berbasis pada dunia eksakta tersebut, tidak tekecuali untuk mendaftar menjadi anggota TNI dan Polri.
Apasih buta warna itu? Buta warna adalah kelainan pada organ mata yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel-sel kerucut mata untuk menangkap spektrum warna tertentu yang disebabkan oleh faktor genetik atau keturunan. (wikipedia). Intinya, pada penyandang kelainan buta warna, organ mata tidak bisa membedakan jenis warna-warna tertentu.
Berangkat dari fakta di atas plus pengalaman pribadi saya dan beberapa sahabat yang "kebetulan" menjadi saksi hidup dari sebuah fragmentasi kehidupan berlatar belakang kelainan buta warna yang kebetulan (lagi) memberi ending tidak mengenakkan. Sejak saat itu saya berniat untuk mengampanyekan atau memasyarakatkan pentingnya tes buta warna sejak dini bagi anak-anak Indonesia. Kenapa sejak dini? Berikut sedikit gambaran fragmentasi berlatar buta warna yang saya sarikan dan kembangkan dari sebuah cerpen “Ternyata Cinta Tidak Buta (Warna)"
Pertama :
Setelah dinyatakan menyandang buta warna, secara otomatis status saya yang diterima tanpa tes di salah satu Fakultas eksakta otomatis gugur! Memang, saya diberi kesempatan untuk bebas memilih meneruskan pendidikan di fakultas non eksakta seperti ekonomi, sospol, sastra atau hukum, tapi karena basic pendidikan dan minat saya tidak ke arah non eksakta tetap saja ini pilihan sulit bagi saya.
Sedikit frustasi dan mencoba menghibur diri, saya sempat ingin mencoba test di Fakultas teknik di salah satu perguruan tinggi ternama di Kota Malang. Sebelum mendaftar, saya mencoba berdialog dengan panitia penerimaan mahasiswa baru program diploma teknik tentang kemungkinan masuknya penyandang buta warna seperti saya.
Si bapak, menyarankan saya untuk memilih D3 Teknik sipil diantara 7 program studi yang tersedia, dengan alasan untuk program studi teknik sipil kemungkinan masih ada toleransi. Tapi, menurut si bapak, seandainya dalam tes tulis akademik ternyata nilai saya sama atau selisih sedikit dengan yang tidak buta warna kemungkinan besar posisi saya akan tergeser dengan yang tidak buta warna! Akhirnya, saya memilih tidak melanjutkan mendaftar, karena menurut saya akan sia-sia saja.
Kedua :
Sejak kecil Bintang bercita-cita menjadi dokter. Sejak mempunyai cita-cita besar yang tentunya mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya itu, Bintang dan semua orang yang ada di sekitarnya seperti kompak, bersatu padu memberikan ruang dan waktu yang kondusif untuk mengakomodir cita-cita besar Bintang menjadi dokter.