Lihat ke Halaman Asli

Kadir Ruslan

TERVERIFIKASI

PNS

Pentingnya Penguasaan Data dalam Debat Capres dan Cawapres

Diperbarui: 13 Maret 2019   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Debat kedua calon presiden 2019 bertema energi, pangan, infrastruktur, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup beberapa waktu lalu (17/02) menyisakan sejumlah catatan. Salah satunya adalah lemahnya penguasaan data kedua kandidat dalam mengulas sejumlah isu strategis di seputar tema debat.

Penguasaan data merupakan aspek penting untuk menilai sejauh mana kedalaman pemahaman para calon terhadap masalah yang ada secara konkret dan berbasis fakta (fact-based). Karena itu, harapan kita adalah pada malam itu bakal terjadi adu argumen yang diperkuat dengan data, bukan hanya sekadar komunikasi verbal yang tidak terukur dan cendurung normatif.

Sayangnya, apa yang disuguhkan kepada publik sepanjang debat masih jauh dari harapan. Keduanya, boleh dibilang masih gagap dalam mengulas masalah dan beradu argumen dengan data. Meski jauh lebih baik dari sisi penggunaan data, kandidat nomor urut 01, misalnya, beberapa kali menyajikan data yang keliru terkait luas kebakaran hutan, produksi kelapa sawit, dan impor jagung. Hal ini mestinya tidak terjadi ketika data telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembuatan dan evaluasi kebijakan.

Sebaliknya, kandidat nomor urut 02 cenderung melontarkan kritik dan mengumbar strategi kebijakan yang terkesan filosif, normatif dan minim data meski disampaikan dengan diksi yang memikat. Ihwal rencana menyetop semua impor pangan, misalnya, memang terdengar indah, tapi kurang realistis dan faktanya sangat sulit untuk diwujudkan.

Nampaknya, hal ini kian menegaskan bahwa kultur data atau kultur numerikal memang bukan merupakan tradisi kita seperti disebutkan oleh Jousairi Hasbullah dalam tulisannya di Harian Kompas (31/07/2018) bertajuk 'Bahaya Buta Data'. Tradisi kita adalah kultur verbal yang cenderung kualitatif, normatif, dan terkadang subjektif.

Padahal, salah satu karakteristik utama negara maju, titik yang selama ini kita tuju, adalah tradisi data driven debate yang kuat sebagai ciri masyarakat yang berbasis ilmu pengetahuan. Hal ini termanifestasi, antara lain, melalui debat pembangunan dan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang didasarkan pada data yang dipahami dan dinarasikan dengan benar. Selain itu, di negara maju, debat calon pemimpin negara juga selalu sarat dengan data statistik.

Jika kita menghendaki adanya keterukuran yang berbasis fakta dan realitas yang sedang terjadi di masyarakat dalam merencanakan, mengevaluasi, dan mengkritisi masa depan negeri ini, sudah semestinya data, statistik, diletakkan sebagai pusat dari debat kebijakan. Dengan demikian, debat yang terjadi benar-benar produktif, efektif dan menyentuh pokok permasalahan.

Terkait hal ini, pernyataan ahli Statistik PBB Enrico Giovannini berikut patut untuk disimak "If a society does not know where it stands, it is quite difficult to decide where to go. Data have a key role in helping policy makers and citizens to understand facts correctly and design their future strategies. The accountability of public debate, public policies and the democratic control on politician's decisions can be improve if statistics, data, is put at the center of public debate."

Karena itu, tiga debat selanjutnya harus diramaikan dengan data, khususnya pada debat terakhir dengan tema ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan, dan investasi, serta perdagangan dan industri. Petahana tentu saja bakal menyadur banyak data untuk menunjukkan sejumlah capaian yang telah direngkuh selama menjalankan roda pemerintahan.

Agar berimbang, alangkah sangat elok jika pada saat yang sama Sang Penantang menanggapinya dengan kritik dan argumen kritis terkait sejumlah gap dan kekurangan yang ada, lalu menawarkan alternatif strategi kebijakan baru, juga dengan berbasis data. Dengan catatan, data yang menjadi acuan tentu saja harus akurat dan dimaknai dengan benar.

Debat seperti ini tidak akan mereduksi kualitas para calon karena anggapan bakal terjebak pada persoalan teknis, terkesan kurang membumi, dan terhalangi untuk menyampaikan gagasan-gagasan besar terkait arah pembangunan bangsa ke depan. Sebaliknya, ini akan mengangkat kualitas mereka di mata publik, khususnya para pemilih mengambang yang belum menentukan pilihan (undecided voters), yang berdasarkan hasil sigi beberapa lembaga survei proporsinya masih cukup besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline