Profil kemiskinan yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menuai polemik. BPS menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan nasional per Maret 2018 telah menyentuh satu digit, yakni sebesar 9,82 persen dari total penduduk. Angka ini terendah sepanjang Indonesia merdeka.
Banyak masyarakat mempertanyakan persoalan standar atau garis kemiskinan yang digunakan BPS. Diketahui, penduduk dianggap miskin jika memiliki pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil dari Rp 401.220.
Menurut mereka, ukuran ini tidak realistis karena itu artinya orang dianggap tidak miskin jika memiliki pengeluran per hari minimal Rp 13.333. Padahal, harga gorengan saja bisa mencapai Rp 2 ribu per biji.
Lalu bagaimana mendudukkan persoalan ini secara obyektif dan ilmiah? Mari kita telaah dengan menggunakan angka kemiskinan periode sebelumnya dengan garis kemiskinan yang lebih rendah.
Pada Maret 2017, garis kemiskinan nasional sebesar Rp 374.478 (angka rata-rata dari garis kemiskinan setiap provinsi yang tidak seragam). Penduduk (tanpa melihat umur dan jenis kelamin) dengan pengeluaran per bulan atau lebih kecil dari nominal ini terkategori miskin.
Dengan menerapkan aturan ini, diperoleh perkiraan jumlah penduduk miskin secara nasional sebanyak 28 juta orang. Padahal, ambang batas untuk terkategori miskin hanya sebesar Rp 12.483 per hari (Rp374.478/30 hari).
Realistiskah?
Jangan hanya lihat besaran garis kemiskinannya, tapi lihatlah juga hasil perkiraan jumlah absolut penduduk miskinnya yang sebanyak 28 juta orang itu. Lalu renungkanlah apakah angka yang lebih besar dari jumlah penduduk Australia itu realistis.
Coba misalkan garis kemiskinannya kita naikkan 1.6 kali sehingga diperoleh Rp 599.165 per bulan atau Rp 19.972 per hari. Anggaplah ini sebagai ambang batas kemiskinan yang baru, yang rasa-rasanya masuk akal berdasarkan metode harga gorengan.
Ternyata, jumlah penduduk dengan pengeluaran per bulan lebih kecil dari nominal itu mencapai sekitar 93 juta jiwa. Realistiskah jumlah penduduk miskin sebanyak itu?
Angka itu lebih besar dari jumlah penduduk Malaysia dan Australia digabung menjadi satu.