Lihat ke Halaman Asli

Kadir Ruslan

TERVERIFIKASI

PNS

The World Happiness Report 2018: Korupsi Gerus Kebahagiaan Masyarakat Indonesia

Diperbarui: 17 Maret 2018   20:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petronela Kenjam (kiri) dan Meliana Eba (kanan) dua orang guru SMK Kristen Huetalan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, sedang mengajar di ruang kelas yang darurat(Kompas.com/Sigiranus Marutho Bere). Dari artikel "Kisah Guru Honorer Bergaji Rp 100.000 di Pedalaman NTT ", Kisah.Guru.Honorer.Bergaji.Rp.100.000.di.Pedalaman.NTT.. Penulis: Kontributor Kupang, Sigiranus Marutho Bere

Laporan Kebahagiaan Dunia 2018 (the World Happiness Report 2018) baru saja dirilis oleh the Sustainable Development Solutions Network for the United Nations pada 14 Maret lalu menjelang peringatan Hari Kebahagian Dunia yang jatuh pada 20 Maret nanti.

Laporan ini merangking tingkat kebahagiaan 156 negera di dunia termasuk Indonesia. Tingkat kebahagiaan yang merupakan representasi apa yang disebut sebagai subjective-well being diukur pada skala 0 sampai dengan 10 melalui sejumlah variabel, yakni Produk Domestik Bruto per kapita dalam paritas daya beli, harapan hidup sehat, kebebasan dalam membuat pilihan, persepsi korupsi, dan dukungan sosial.

Secara umum, komposisi lima negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi pada laporan tahun 2018 tidak jauh berbeda dengan laporan tahun sebelumnya. Pada tahun ini lima negara paling bahagia sejagat berturut-turut adalah Finlandia dengan skor kebahagiaan sebesar 7.632, Norwegia (7.594), Denmark (7.555), Islandia (7.495), dan Swiss (7.487). Adapun tahun lalu, Norwegia menjadi negara paling bahagia di dunia dengan skor mencapai  7.537, disusul berturut-turut oleh Denmark (7.522), Islandia (7.504), Swiss (7.494), dan Finlandia (7.469).

Fakta ini kembali meneguhkan dominasi negara-negara Skandinavia dalam pengukuran well-being dan aspek holistik dari pembangunan manusia. Negara-negara ini berhasil menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi (material) dan aspek non-mateterial kehidupan manusia.

Lalu bagaimana dengan capaian Indonesia?

Pada laporan kali ini, Indonesia berada pada ranking 96 dari 156 negara dengan skor tingkat kebahagiaan sebesar 5.093. Bila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) capaian Indonesia boleh dibilang kurang menggembirakan. Betapa tidak, Indonesia kalah dibanding Singapura (6.343), Malaysia (6.322), Thailand (6.072), Filipina (5.524), dan Vietnam (5.103). Tingkat kebahagiaan orang Indonesia bahkan jauh di bawah Nigeria yang menempati peringkat 91 dengan skor tingkat kebahagiaan mencapai 5.155.

Faktanya, perkembangan tingkat kebahagiaan penduduk Indonesia menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Laporan tahun ini menyajikan rata-rata skor tingkat kebahagiaan sepanjang 2015-2017. Jika dibandingkan dengan kondisi sepanjang 2008-2010 rata-rata skor tingkat kebahagiaan Indonesia berkurang sebesar 0.160 poin.

Peraga berikut menunjukkan bahwa sepanjang 2006-2017 tingkat kebahagiaan tertinggi Indonesia dicapai pada 2014 dengan skor kebahagiaan mencapai 5.597. Sayangnya, tingkat kebahagiaan Indonesia kemudian mengalami penurunan yang cukup signifikan hingga mencapai 5.098 pada 2017.

Sumber: the World Happiness Report 2018

Bila diurai menurut kontribusi setiap variabel terhadap skor tingkat kebahagiaan, sebagian besar tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia dijelaskan oleh variabel PDB per kapita dan dukungan sosial. Fakta ini selain mengonfirmasi peran penting kemapanan ekonomi dalam menjelaskan kebahagiaan, juga menunjukkan bahwa orang Indonesia umumnya merasa aman ketika dihadapkan pada kesulitan karena memiliki keluarga atau teman yang siap membantu kapanpun mereka membutuhkan pertolongan. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa orang Indonesia memiliki jiwa tolong-menolong yang cukup baik.

Variabel dengan kontribusi paling kecil terhadap skor tingkat kebahagiaan adalah persepsi terhadap korupsi. Jika dibandingkan dengan Finlandia kondisinya sangat jauh berbeda. Persepsi terhadap korupsi mampu menjelaskan sekitar 0.393 poin dari total skor kebahagiaan Finlandia sementara untuk Indonesia kontribusi variabel persepsi korupsi dalam menjelaskan skor kebahagiaan sangat nihil, yakni hanya sebesar 0.018.

Sumber: the World Happiness Report 2018

Tidak berlebihan jika dikatakan kalau praktek korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik di negeri ini telah menggerus kebahagiaan masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dijelaskan karena praktek korupsi mengakibatkan anggaran negara yang mestinya dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat mengalami kebocoran dan hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Kecilnya kontribusi variabel persepsi korupsi ini tentu tidak mengherankan mengingat eskalasi praktek korupsi di negeri ini masih sangat tinggi dan masif. Belakangan ini bahkan hampir saban hari kita disuguhi berita tentang penangkapan pejabat publik yang terlibat kasus korupsi. Hal ini mestinya menjadi perhatian serius bagi kita semua. Di tengah capaian pembangunan ekonomi yang sudah lumayan baik dan terus menunjukkan kemajuan berarti, pekerjaan rumah pemberantasan korupsi ternyata masih jauh dari kata memuaskan dan belum menunjukkan kemajuan yang berarti. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline