Lihat ke Halaman Asli

Kadir Ruslan

TERVERIFIKASI

PNS

Kepala BPS Baru dan Data Pangan

Diperbarui: 17 September 2016   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suhariyanto (Kepala BPS yang baru) bersalaman dengan Suryamin (Kepala BPS sebelumnya) disaksikan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas. Sumber: Kompas

Pada Kamis lalu (15/9), Suhariyanto dilantik oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, sebagai Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) yang baru. Ia menggantikan Suryamin yang telah memasuki masa purnabakti. Dalam sambutannya pada acara pelantikan tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas memberi penekanan khusus pada data produksi pangan. Data tersebut harus reliable sebagai landasan pemerintah dalam melakukan perencanaan dan penentuan kebijakan terkait pangan nasional.

Dipahami bersama bahwa tanpa data produksi pangan yang akurat, perencanaan pembangunan bakal keliru. Kebijakan yang diambil juga tidak tepat dan melenceng dari sasaran. Ongkos ekonomi, sosial, dan politik sebagai akibat perencanaan dan kebijakan yang keliru tentu sangat mahal. Karena itu, harapan yang sangat besar disandarkan kepada BPS sebagai lembaga penyedia data statistik resmi yang selama ini menjadi rujukan semua pihak.

Ketika berbicara data produksi pangan, persoalan akan mengerucut pada data produksi padi/beras nasional. Tak bisa dipungkiri, dari sekian banyak data yang dihasilkan BPS selama ini, data tersebut  kerap menjadi sorotan banyak kalangan. Akurasinya dipertanyakan karena tidak sejalan dengan perkembangan harga beras di pasar dan keputusan pemerintah mengimpor beras untuk memperkuat cadangan beras nasional dan stabilisasi harga.

Tahun lalu misalnya, produksi padi nasional dilaporkan mencapai 75 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 43 juta ton beras. Dengan angka kebutuhan beras nasional  yang mencapai 114 kilogram per kapita per tahun, kelebihan produksi beras pada tahun lalu bisa mencapai 13 juta ton. Surplus beras sebanyak itu mestinya menjadikan harga beras rendah dan stabil karena suplai yang melimpah. Selain itu, Indonesia seharusnya sudah menjadi negara eksportir neto beras seperti halnya Vietnam dan Thailand.

Faktanya, sepanjang 2015 harga beras cenderung tinggi dan tidak stabil. Hal tersebut merupakan indikasi kuat bahwa suplai beras tidak mencukupi. Lebih dari itu, alih-alih menjadi eksportir neto beras, realisasi impor beras nasional justru mencapai lebih dari 1 juta ton.

Tidak membikin heran jika Wakil Presiden Jusuf Kalla berulang kali mengingatkan agar data produksi padi/beras  nasional  dihitung dengan cermat dan teliti. Menurutnya, angka produksi padi sebanyak 75 juta ton terlalu tinggi dan sangat berbahaya jika dijadikan landasan kebijakan terkait pangan.  Kritik dari para pengamat dan akademisi yang mempertanyakan akurasi data produksi padi/beras nasional juga bertubi-tubi. Guru besar Institut Pertanian Bogor Andreas Santosa bahkan mengatakan bahwa data produksi pangan yang dirilis BPS abal-abal.

Sebetulnya, sumbu permasalahan data produksi padi/beras telah lama ditemukenali. Dalam Lokakarya bertema ”Data Pangan sebagai Pijakan Pengambilan Kebijakan” pada tahun lalu, BPS secara terbuka juga telah mengakui bahwa data produksi padi yang dirilis selama ini tidak akurat. Sumber ketidakakuratan tersebut adalah data luas panen yang ditengarai overestimate.

Bagi BPS, persoalan data luas panen memang pelik. Pasalnya, data ini dalam prakteknya tidak dikumpulkan oleh BPS, tapi oleh Dinas Pertanian di bawah koordinasi Kementerian Pertanian. Sialnya, BPS harus menggunakan data ini dalam perhitungan produksi yang merupakan hasil perkalian data luas panen dan data produktivitas. Pendek kata, BPS hanya ketiban sial.

Secara umum,  permasalahan pada data luas panen mengerucut pada dua hal. Pertama, data tersebut dikumpulkan oleh institusi yang berkepentingan dengan setiap digit angka luas panen yang dilaporkan.  Dalam hal ini, potensi konflik kepentingan sangat besar karena institusi pengumpul data dievaluasi kinerja dan pencapaiannya berdasarkan data yang dikumpulkannya sendiri.

Kedua, pengumpulan data luas panen tidak menggunakan metode objective measurement tapi berbagai metode konvensional, seperti estimasi dengan pandangan mata (eye estimate) yang berpotensi besar menghasilkan taksiran luas panen yang tidak akurat.

Karena itu, solusinya cukup jelas, yakni menyerahkan sepenuhnya perhitungan data produksi padi nasional (luas panen dan produktivitas) kepada  BPS.  Dengan demikian, BPS harus mengupayakan metode perhitungan luas panen yang lebih akurat dengan menggunakan objective measurements.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline