[caption id="attachment_410944" align="aligncenter" width="504" caption="Sumber: www.tempokini.com"][/caption]
Gejolak harga beras yang terjadi pada Februari lalu masih menyisakan misteri ihwal panyebabnya. Banyak analisa mengemuka, tapi tak satupun dari analisa-analisa tersebut yang mampu menjelaskan dengan gamblang penyebab gejolak harga yang terjadi.
Mengapa penyebab gejolak harga beras acap kali begitu sulit dipahami? Tidak tersedianya data produksi dan konsumsi beras yang akurat adalah salah satu pangkal masalahnya. Kondisi ini telah mereduksi kemampuan pemerintah dan para peneliti dalam memahami suplai dan permintaan beras.
Lemahnya kualitas data tercermin dari inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras. Pada 2014, produksi padi ditaksir mencapai 70,8 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan laju konversi sebesar 57 persen, ada sebanyak 40,4 juta ton beras yang siap dikonsumsi untuk pangan penduduk. Pada saat yang sama, dengan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar 139,15 kilogram per tahun, kebutuhan beras nasional untuk mencukupi pangan 252 juta jiwa penduduk negeri ini diperkirakan mencapai 35 juta ton. Itu artinya, secara hitung-hitungan, surplus beras pada tahun lalu mencapai 5 juta ton.
Belakangan, hasil demo memasak nasi di Kantor Wakil Presiden beberapa waktu lalu menyimpulkan bahwa angka konsumsi beras per kapita yang paling mewakili tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah sebesar 114,8 kilogram per tahun. Itu artinya, kebutuhan beras nasional pada 2014 hanya sebanyak 29 juta ton. Dengan demikian, surplus beras pada tahun lalu lebih besar lagi, bisa mencapai 11 juta ton.
Seandainya pada 2014 memang terdapat surplus beras sebanyak 5-11 juta ton, gejolak harga beras pada Februari lalu, yang katanya dipicu menipisnya stok, galibnya tak bakal terjadi. Lalu ke mana perginya berjuta-juta ton beras itu? Ini adalah sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab dengan tuntas.
Salah satu informasi penting yang dibutuhkan untuk menjawab inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras adalah data cadangan atau stok beras nasional. Sayangnya, hingga kini, informasi berapa jumlah stok beras yang ada di masyarakat secara real time tetap misterius, terutama stok beras yang dikuasai oleh pedagang dan penggilingan padi. Akibatnya, pemerintah dan peneliti sering kali gagal memahami penyebab gejolak kenaikan harga beras di pasar. Apakah hal tersebut murni disebabkan oleh stok yang menipis atau penyebab lain, seperti praktek kartel atau mafia beras karena struktur pasar beras yang tidak sehat dan cenderung oligopolistik.
Kabar baiknya, saat ini BPS sedang melaksanakan survei untuk mengestimasi stok beras yang dikuasai oleh masyarakat pada tiga titik waktu, yakni musim panen raya, paceklik, dan gadu. Meski cukup menjanjikan, survei tersebut bakal dihadapkan pada tantangan yang cukup berat, yakni sulitnya mendapatkan informasi stok yang dikuasai oleh para pedagang dan penggilingan padi. Maklum, informasi tersebut adalah infotmasi kelas satu bahkan alat spekulasi yang tidak mungkin dengan mudah dibagikan kepada pihak lain.
Akurasi data produksi
Ihwah inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras, selama ini, yang acap kali disorot oleh banyak kalangan adalah soal akurasi data produksi padi/beras. Data tersebut ditengarai menderita overestimate atau lebih tinggi dari kenyataan di lapangan. Musababnya, penaksiran luas panen yang masih menggunakan metode estimasi pandangan mata (eye estimate), bukan metode statistik (objective measurement).
Dalam prakteknya, petugas mengunjungi lahan sawah yang tanaman padinya siap dipanen kemudian memperkirakan luas panen padi secara visual. Akurasinya tentu sangat lemah dan cenderung subyektif. Itupun masih untung petugas datang ke sawah, bagaimana bila penaksiran luas panen dilakukan di atas meja?
Sebetulnya, eye estimate bukanlah satu-satunya metode yang digunakan oleh petugas dalam menaksir luas panen. Faktanya, petugas juga menggunakan metode-metode lain, seperti pendekatan blok pengairan, penggunaan pupuk dan benih, dan informasi dari aparat desa. Namun tetap saja metode-metode tersebut sulit dievaluasi akurasinya, karena pada dasarnya bukan pengukuran yang dilakukan secara obyektif atau hasil dari metode statistik.
Sekedar diketahui, selama ini, produksi padi dihitung dengan mengalikan data luas panen dan data produksi per hektar (produktivitas). Data luas panen dikumpulkan melalui kegiatan pendataan yang dilakukan oleh petugas Dinas Pertanian (KCD), sementara data produktivitas dikumpulkan oleh KCD dan petugas BPS melalui Survei Ubinan. Mekanisme pengumpulan data ini sudah berlangsung lebih dari seperempat abad.
Meski kontribusi BPS terhadap data produksi padi, boleh dibilang, hanya sekitar 25 persen, yang dipahami oleh publik selama ini adalah data tersebut merupakan—sepenuhnya—data BPS. Walhasil, BPS acap kali menjadi sasaran tembak dan bulan-bulanan para kritikus data yang tidak puas dengan akurasi data produksi padi/beras.
Untuk mengakhiri inkonsistensi antara data produksi dan konsumsi beras, perbaikan akurasi data adalah sebuah keniscayaan. Kabar baiknya, upaya ke arah itu sedang dilakukan. Pada tahun ini, misalnya, BPS melaksanakan dua kegiatan sekaligus untuk memperbaiki akurasi data luas panen.
Kegiatan pertama adalah uji coba metode kerangka sampel area untuk mengestimasi luas panen padi dengan memanfaatkan data citra satelit. Uji coba tersebut dilakukan di Kabupaten Garut dan Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Serangkaian uji coba akan dilakukan hingga metode KSA dipastikan bisa diterapkan secara nasional pada 2019.
Kegiatan kedua adalah Survei Luas Panen dan Luas Lahan Tanaman Pangan yang dilakukan di 7 provinsi sentra produksi padi nasional, yakni semua provinsi di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta serta Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Selatan. Survei tersebut bertujuan untuk menguji validitas dan keterandalan pendekatan rumah tangga dalam mengestimasi luas panen. Outputnya adalah apakah metode wawancara bisa digunakan untuk menggantikan metode eye estimate dan metode-metode lain yang tidak jelas asal muasalnya dalam mengestimasi luas panen.
Selain itu, dari hasil survei juga dapat diperoleh informasi seberapa besar sebetulnya overestimate yang terjadi pada data luas panen padi, yang menurut sejumlah kalangan sudah mencapai 20 persen. Dengan demikian, koreksi terhadap data luas panen dan produksi padi/beras, yang selama ini ditengarai tidak akurat, dapat dilakukan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H