Lihat ke Halaman Asli

Kadir Ruslan

TERVERIFIKASI

PNS

Rokok, Si Miskin, dan Anak-anak

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1390186435287451204

Meskipun terus mengalami penurunan secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk miskin di Indonesia boleh dibilang masih cukup tinggi. Data terakhir bahkan menunjukkan, pada September 2013, jumlah penduduk miskin mencapai 28,55 juta jiwa, atau mengalami kenaikan sebesar 0,48 juta jiwa bila dibandingkan dengan kondisi pada bulan Maret tahun yang sama.

Salah satu ciri utama penduduk miskin adalah tingginya pendapatan yang dialokasikan untuk kebutuhan makanan. Kebutuhan makanan menyedot sebagian besar pendapatan penduduk miskin. Akibatnya, porsi pendapatan yang bisa dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan, apalagi ditabung sangat nihil.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) empat kali dalam setahun adalah satu-satunya survei yang mampu menangkap pola pengeluaran penduduk Indonesia, termasuk kelompok penduduk miskin. Dalam beberapa tahun terakhir, Susenas telah menangkap fakta menarik terkait pola pengeluaran penduduk miskin, yakni tingginya konsumsi rokok─filter dan kretek.

Sebagian besar pengeluaran/pendapatan penduduk miskin ternyata selain dialokasikan untuk membeli beras juga dialokasikan untuk membeli rokok. Hal ini tercermin dari kontribusi pengeluaran untuk rokok dalam perhitungan garis kemiskinan (GK). GK adalah batas rupiah minimum yang mesti dikeluarkan oleh setiap orang dalam sebulan agar tidak terkategori miskin. Penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil dari GK disebut miskin.

[caption id="attachment_317007" align="aligncenter" width="588" caption="Sumber: Berita Resmi Statistik, 2 Januari 2013"][/caption]

Pada September 2013, misalnya, kontribusi rokok terhadap GK mencapai 10,08 persen di perkotaan dan 8,31 persen di pedesaan. Bila GK yang digunakan dalam perhitungan jumlah penduduk miskin di perkotaan pada September 2013 sebesar Rp308.826,-, itu artinya jumlah uang yang dikeluarkan oleh penduduk miskin di perkotaan untuk membeli rokok dalam sebulan bisa mencapai Rp34.000,-. Tentu cukup lumayan dan alangkah lebih bermanfaat bila uang sebanyak ini dialihkan untuk biaya pendidikan, misalnya.

Sementara itu, hasil Survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dirilis Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, pada bulan lalu menyebutkan, konsumsi rokok pada penduduk kelas menengah bawah dan terbawah rata-rata mencapai 12 batang per hari atau sekitar 360 batang dalam sebulan. Bila diasumsikan harga sebatang rokok sebesar Rp500,-, itu artinya uang yang dihabiskan untuk membeli rokok oleh penduduk kelas menenengah bawah dan terbawah mencapai Rp180.000,- dalam sebulan.

[caption id="attachment_317008" align="aligncenter" width="654" caption="Sumber: Riskesdas 2013"]

13901864981685425499

[/caption]

Celakanya, hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan, konsumsi rokok pada anak-anak, yakni penduduk kelompok usia 10-14 tahun, juga sangat tinggi. Betapa tidak, konsumsi rokok pada kelompok usia ini mencapai sekitar 8 batang per hari atau 240 batang dalam sebulan. Itu artinya, dalam sebulan “anak-anak” perokok di negeri ini menghabiskan uang sebesar Rp120.000,- untuk membeli rokok.

Hal ini tentu merupakan fenomena miris. Semua orang tahu rokok tidak ada manfaatnya. Malah berdampak buruk bagi kesehatan. Selain itu, kebiasaan merokok adalah pemborosan. Sesuatu yang sama sekali tidak pantas dilakukan oleh orang miskin yang hidup serba kekurangan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline