September 2012. Angin timur bertiup kencang menyapu pesisir Selat Buton sore itu. Cukup dengan sekali helaan, sebuah layang-layang setinggi orang dewasa berhasil mengudara di langit Kota Raha, ibu kota Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Layang-layang yang diterbangkan La Sima sore itu bukan layang-layang biasa. Meskipun tampak begitu bersahaja. Mungkin orang tak bakal menyangka kalau La Sima dengan layangannya yang begitu sederhana itu adalah langganan jawara dalam berbagai festival layang-layang internasional yang dihelat di manca negara.
Orang juga mungkin tak bakal menyangka kalau di balik kesederhanaan layang-layang yang mengangkasa sore itu, tersimpan sebuah kearifan lokal dan jejak sejarah masa lampau yang begitu membanggakan. Jejak sejarah bahwa La Sima dan nenek moyangnya, Suku Muna, telah mengenal permainan layang-layang sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang silam. Jejak sejarah—yang mungkin saja—bakal membantah klaim di dunia perlayangan selama ini bahwa layang-layang tertua di dunia berasal dari negeri Tiongkok. Tapi berasal dari sebuah pulau karang di sisi tenggara Pulau Sulawesi: Pulau Muna.
[caption id="attachment_257289" align="aligncenter" width="480" caption="La Sima dan layang-layang kaghati kolope (www.majalahexpo.com)"][/caption]
Dalam bahasa setempat (bahasa Muna), layang-layang unik yang diterbangkan La Sima disebut kaghati kolope, yang jika diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia berarti layang-layang kolope. Kolope merupakan sebutan untuk ubi hutan sejenis gadung yang tumbuh liar di hutan-hutan Pulau Muna. Disebut kaghati kolope karena bahan utama pembuatannya adalah daun kolope yang telah dikeringkan dan dipotong-potong ujungnya. Lembar-lembar daun kolope dijalin dengan menggunakan potongan bambu yang ditipiskan menyerupai lidi untuk menutupi rangka layangan yang terbuat dari bambu. Layangan yang telah jadi kemudian diterbangkan dengan menggunakan benang yang dipintal dari serat nanas hutan.
Bahan dan proses pembuatan kaghati kolope memang sangat sederhana. Dan, pada sisi kesederhanaan inilah sebetulnya letak keunikan kaghati kolope, dan nampaknya juga menjadi penyebab utama mengapa layang-layang tradisional Suku Muna ini menjadi jawara di berbagai festival layang-layang internasional. Orang tentu bakal terkesima tatkala melihat layang-layang yang begitu kokoh mengangkasa ternyata terbuat dari dedaunan kering dan batang-batang bambu, di tengah kelaziman bahwa layang-layang umumnya terbuat dari kertas atau kain parasut dan batang-batang aluminium.
The first kiteman
Kala menjuarai festival layang-layang internasional yang dihelat di Perancis di tahun 1997, La Sima dan kaghati kolope berhasil mencuri perhatian komunitas layang-layang internasional. Salah satunya adalah Wlofgang Bieck, seorang warga negara Jerman yang merupakan Consultant of Kite Aerial Photograpy Scientific Use of Kite Aerial Photography.
Pada tahun 1997, Bieck berkunjung ke Pulau Muna untuk melakukan penelisikan lebih dalam mengenai kaghati kolope. Di Muna, ia menemukan fakta menarik: tradisi permainan layang-layang ternyata telah dikenal oleh Suku Muna sejak ribuan tahun yang lalu. Fakta ini terekam oleh sebuah lukisan prasejarah di dinding Gua Sugi Patani yang terletak di Desa Liang Koburi, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Lukisan tersebut menunjukkan seseorang yang sedang bermain layang-layang di dekat pohon kelapa.
[caption id="attachment_257290" align="aligncenter" width="190" caption="Lukisan prasejarah di Gua Sugi Patani yang menunjukkan orang sedang bermain layang-layang (www.wolfgangbieck.gmxhome.de)"]
[/caption]
Berdasarkan temuannya, Bieck menyimpulkan, klaim yang menyebutkan bahwa layang-layang tertua di dunia berasal dari Tiongkok terpatahkan. Ia yakin, layang-layang tertua di dunia berasal dari Muna, Indonesia. Bieck percaya bahwa usia lukisan prasejarah di Gua Sugi Patani lebih tua ketimbang usia permainan layang-layang di negeri Tiongkok yang diperkirakan telah berumur sekitar 2.400 tahun. Bieck menuliskan kesimpulan hasil penelitiannya dalam sebuah artikel bertajuk The First Kiteman yang dimuat pada sebuah majalah di Jerman di tahun 2003.
Benar tidaknya kesimpulan dari penelitian yang dilakukan Bieck amat bergantung pada usia pasti lukisan di Gua Patani. Jika usia lukisan tersebut sama dengan usia lukisan-lukisan prasejarah yang ditemukan di gua-gua lain di wilayah Sulawesi yang rata-rata telah berumur 4.000—10.000 tahun, maka dapat dipastikan bahwa kaghati kolope memang adalah layang-layang tertua di dunia. Dan, nenek moyang La Sima (orang Muna) adalah The First Kiteman. Kalaupun tidak, orang Muna harus tetap bangga dengan kearifan lokalnya, bangga dengan kaghati kolope yang telah mendunia. (*)
Referensi: (1) The First Kiteman, Wolfgang Bieck; (2) Jejak Purba Layang-layang Muna, Kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H