Lihat ke Halaman Asli

Kadir Ruslan

TERVERIFIKASI

PNS

Bonus Demografi: Kaya Sebelum Menua

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1425817624843902373

[caption id="attachment_401514" align="aligncenter" width="585" caption="Sumber: www.bincangedukasi.com"][/caption]

Indonesia sedang mengalami apa yang disebut dengan “bonus domografi” (demographic dividend). Suatu kondisi kependudukan yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) dan menurunnya proporsi penduduk usia tidak produktif (< 15 tahun dan 65+ tahun). Struktur penduduk yang menguntungkan ini berdampak pada mengecilnya rasio ketergantungan atau angka beban tanggungan (dependency ratio) penduduk usia produktif.

Hasil proyeksi penduduk tahun 2010-2035 yang diluncurkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014 memperlihatkan bahwa kondisi tersebut akan berlangsung hingga dua dekade mendatang. Pada tahun 2010, angka beban tanggungan sebesar 50,5 dan akan terus menurun secara konsisten hingga puncak bonus demografi terjadi pada 2028-2030. Saat itu, angka beban tanggungan diperkirakan sebesar 46,9.  Itu artinya, selama dua dekade mendatang, setiap satu orang penduduk usia produktif akan menanggung dua orang penduduk usia tidak produktif.

Bayangkan, betapa makmur dan sejahteranya sebuah keluarga yang terdiri dari lima orang dan pada saat yang sama hanya dua orang di antara mereka yang tidak bekerja, bila pada saat yang sama pendapatan per kapita Indonesia—katakanlah—di atas USD7.000 per tahun.

Setelah tahun 2030, angka beban tanggungan akan kembali naik, dan Indonesia akan memasuki periode “utang demografi “ (demographic debt) akibat penuaan penduduk (ageing). Periode tersebut  ditandai dengan struktur penduduk yang didominasi kelompok penduduk usia tua (65+ tahun).

Bonus demografi, yang dicirikan dengan proporsi penduduk usai produktif yang besar, merupakan jendela peluang (opportunity window) bagi Indonesia. Jika bisa dimanfaatkan dengan baik, hal ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan per kapita, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.

Namun demikian, rasio penduduk usia produktif yang besar saja tidak menjamin Indonesia bakal menuai berkah dari “bonus demografi”.  Sedikitnya, ada dua hal yang mesti diupayakan pemerintah untuk menuai manfaat bonus demografi. Pertama, penduduk usia produktif harus berkualitas. Kedua, pertumbuhan ekonomi harus dipacu untuk menggenjot pendapatan per kapita dan menciptakan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan baru. Bila kedua hal tersebut gagal diupayakan, tidak menutup kemungkinan bonus demografi bakal berubah menjadi “bencana demografi”. Alih-alih merengkuh kemakmuran dan kesejahteraan, negeri ini justru bakal dipusingkan dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran.

Secara faktual, kualitas manusia Indonesia, boleh dibilang, rendah dan masih harus ditingkatkan. Laporan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2014 menyebutkan bahwa kualitas pembangunan manusia Indonesia yang diukur berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pada tahun 2013 berada pada peringkat ke-108 dari 287 negara. Di kawasan ASEAN, capaian Indonesia bahkan berada di belakang Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia, dan Thailand.

Capaian Indonesia yang belum maksimal dalam soal pembangunan manusia lebih disebabkan tingkat kapabilitas penduduk yang rendah. Hal itu tercermin dari rendahnya capaian derajat kesehatan penduduk Indonesia, yang tertinggal dari sejumlah negara ASEAN. Sebagai gambaran, angka harapan hidup orang Indonesia yang hanya sebesar 70,8 tahun. Bandingkan dengan Singapura 82,3 tahun, Brunai Darussalam 78,5 tahun, Vietnam 75,9 tahun, Malaysia 75 tahun, dan Thailand 74,4 tahun.

Tingkat kapabilitas penduduk yang rendah juga tercermin dari tingkat pendidikan penduduk. Laporan UNDP pada 2014  memperlihatkan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia hanya sebesar 7,5 tahun. Lagi-lagi capaian ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN. Rata-rata lama sekolah di Singapura 10,2 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, dan Brunai Darussalam 8,7 tahun. Jadi, tak usah heran bila  secara rata-rata tingkat pendikan tenaga kerja Indonesia sangat rendah. Data statistik menunjukan, sekitar 64 persen angkatan kerja yang membanjiri pasar tenaga kerja negeri ini hanya menamatkan pendidikan maksimal setingkat sekolah menengah pertama (SMP).

Rendahnya tingkat pendidikan penduduk Indonesia menunjukan bahwa masih banyak anak negeri ini yang memiliki keterbatasan dalam mengakses pendidikan. Data statistik memperlihatkan, angka partisipasi sekolah pada kelompok umur 13-15 tahun baru mencapai 89,66 persen, sementara untuk kelompok umur 16-18 tahun baru sebesar  61,06 persen. Fakta ini memberi konfirmasi bahwa masih banyak anak negeri ini yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat sekolah menengah atas (SMA).

Patut dicatat, angka-angka tersebut baru berbicara mengenai partisipasi anak-anak negeri ini dalam pendidikan, belum berbicara soal kualitas pendidikan yang mereka dapatkan. Faktanya, meski siswa-siswa Indonesia seringkali unggul dalam hal adu pintar di kancah antarbangsa, bahkan acap kali menjadi jawara pada perhelatan olimpiade Fisika, Kimia, dan Matematika internasional, dalam soal kualitas pendidikan, Indonesia juga tertinggal jauh. Hal itu tercermin dari kemampuan matematika, sains, dan membaca siswa Indonesia yang rendah. Hasil Programme for International Assesment (PISA) 2012 memperlihatkan bahwa kemampuan siswa negeri ini dalam soal matematika, sains, dan membaca berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara yang disurvei.

Karena itu, investasi di bidang pendidikan dan kesehatan harus menjadi fokus perhatian dan agenda utama pembangunan dalam dua dasawarsa mendatang. Hal tersebut merupakan faktor kunci dalam mengantarkan Indonesia untuk menuai manfaat ekonomi dari bonus demografi yang sedang dialami.

Penuaan penduduk (ageing) juga harus menjadi fokus perhatian. Indonesia harus mempersiapkan diri untuk menyongsong periode utang demografi. Bila tidak dipersiapkan dengan baik, hal ini bakal manjadi masalah di kemudian hari. Karena itu, pertumbuhan ekonomi harus dipacu sehingga Indonesia bisa menjadi negara maju–dengan pendapatan per kapita yang tinggi—sebelum memasuki periode utang demografi. Pendek kata, Indonesia harus menjadi kaya sebelum menua. (*)

Penulis bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline