Lihat ke Halaman Asli

Kadir Ruslan

TERVERIFIKASI

PNS

Impor dan Statistik Beras

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Kisruh beras impor kualitas premium asal Vietnam belum jelas ujungnya.Seperti diketahui, ihwal kisruh tersebut, pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara (moratorium) importasi beras khusus atau kualitas premium selama enam bulan mendatang sembari membenahi kembali tata niaga impor beras.

Meski sah saja,beras impor selalu menuai tanggapan negatif dari publik. Tak peduli beras impor tersebut kualitas premium atau medium. Bagi Indonesia yang luas sawahnya mencapai 8 juta hektar, impor beras sungguh keterlaluan. Bukti bahwa bangsa ini lemah dalam soal kemandirian pangan.

Galibnya, dalam soal importasi beras kualitas premium, yang dilakukan pemerintah bukan sekedar moratorium, tapi penghentian secara permanen. Pasalnya, selain membuka peluang masuknya beras illegal, produk substitusi untuk beras kualitas premium yang diimpor selama ini sebetulnya bisa dihasilkan di dalam negeri. Beras jenis Rojolele dan Cianjur, misalnya, memiliki kualitas yang setara dengan beras impor kualitas khsusus, seperti Japonica, Basmati, dan Thai Hom Mali.

Selain itu, selama ini importasi beras kualitas premium sebetulnya hanya ditujukan untuk memenuhi selera pasar atau kebutuhan konsumen segmen tertentu dengan jumlah yang terbatas. Karena iut, bila pemerintah memiliki keberpihakan terhadap petani dan kepentingan produksi dalam negeri, produksi beras lokal kualitas premium mestinya digenjot.

Akurasi data

Bagaimana dengan beras kualitas medium? Diketahui, menurut undang-undang, importasi beras jenis ini hanya boleh dilakukan oleh Bulog untuk stabilisasi harga beras di dalam negeri.

Selama ini, indikator utama yang dijadikan pijakan perlu atau tidaknya importasi beras oleh Bulog adalah harga pasar beras termurah. Bila harga beras termurah 25 persen lebih mahal dari harga pembelian pemerintah (HPP), Bulog akan melakukan impor beras.

Indikator yang juga dijadikan pijakan adalah stok beras yang dimiliki oleh Bulog. Bila stok di bawah level aman (kurang dari 2 juta ton), impor beras harus dilakukan.

Pertanyaannya, mengapa bukan data produksi beras di dalam negeri yang dijadikan acuan utama untuk memutuskan perlu atau tidaknya impor beras?

Selama ini, data produksi beras hanya menjadi bahan pertimbangan. Tidak lebih dari itu. Berdasarkan data produksi yang ada, Kementerian Pertanian (Kementan) hanya bisa memberi rekomendasi perlu atau tidaknya dilakukan impor. Keputusan tetap di tangan Bulog berdasarkan kondisi stok dan harga beras di pasar.

Data produksi beras tidak bisa dijadikan indikator utama perlu atautidaknya impor karena selama ini kerap terjadi disasoiasi antara data dengan kondisi stok dan harga beras di pasar.

Surplus acapkali hanya sekedar angka-angka di atas kertas (semu). Data menunjukkan produksi beras melimpah. Tapi pada saat yang sama, Bulog mengalami kesulitan dalam pengadaan beras dan harga beras di pasar merangkak naik, yang merupakan indikasi kekurangansuplai.

Pada tahun 2011, misalnya, data menunjukkan produksi beras cukup melimpah. Namun, pada saat yang sama, Bulog mengalami kesulitan dalam pengadaan beras, dan harga beras di pasar merangkak naik karena kekurangan suplai. Impor beras sepanjang 2011 bahkan nyaris 3 juta ton. Padahal, surplus ditaksir mencapai 4 juta ton.

Meski disasosiasi ini bisa jadi disebabkan oleh market power atau praktek kartel yang dilakukan oleh pedagang perantara seperti yang lazim terjadi pada komoditas pangan strategis lainnya, hal ini sebetulnya merupakan petunjuk bahwa data produksi beras tidak akurat.

Secara faktual, akurasi data produksi beras memang lemah. Persoalan ini telah banyak disorot oleh sejumlah kalangan. Kritik dan desakan agar akurasi data diperbaiki juga telah sering disuarakan. Namun hingga kini belum ada kemajuan yang berarti.

Produksi beras nasional dihitung dari produksi padi nasional yang dikalikan dengan laju konversi sebesar 0,57 sehingga diperoleh beras yang siap dikonsumsi untuk pangan.

Selama ini, produksi padi nasional dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dengan menggunakan metode yang nyaris tidak pernah berubah sejak tahun 1973.

Produksi padi dihitung dengan mengalikan data luas panen dengan data produksi per hektar (produktivitas).

Data luas panen dikumpulkan oleh mantri tani (petugas dinas pertanian di tingkat kecamatan) secara rutin setiap bulan dengan pendekatan blok pengairan, penggunaan pupuk, informasi dari aparat desa, dan penaksiran dengan pandangan mata (eye estimate). Hasil penaksiran luas panen kemudian disetor ke BPS.

Di lapangan, metode yang banyak digunakan adalah pendekatan terakhir. Dalam prakteknya, petugas hanya datang ke sawah yang tanaman padinya siap dipanen kemudian memperkirakan luasnya. Masih mending petugas datang ke sawah, bagaimana kalau perkiraan luas panen dilakukan di atas meja?

Dalam teori statistik, data luas panen yang dikumpulkan oleh petugas dinas pertanian disebut catatan administrasi sehingga tidak bisa dihitung dan dievaluasi tingkat akurasinya. Idealnya, pengumpulan data luas panen dilakukan dengan menggunakan survei statistik (objective measurement).

Sementara itu, pengumpulan data produktivitas dilakukan melalui survei statistik yang disebut Survei Ubinan. Produktivitas ditaksir dengan mengobservasi produksi tanaman padi pada 73.109 plot berukuran 2,5x2,5 m2. Pengumpulan data produktivitas sebagian dilakukan oleh petugas dinas pertanian dan sebagian lagi dilakukan oleh petugas BPS.

Jadi, angka produksi padi/beras yang selama ini disebut sebagai “angka BPS” sejatinya merupakan hasil kompromi antara dua sistem pengumpulan data yang berbeda, dan bukan sepenuhnya angka BPS.

Upaya perbaikan

Kelemahan utama dalam perhitunga produksi padi/beras nasional pengumpulan data luas panen yang tidak menggunakan survei statistik. Hasil kajian yang dilakukan oleh BPS pada tahun 1996 hingga 1997 menemukan bahwa data luas panen yang dikumpulkan oleh mantra tani di Pulau Jawa mengalami overestimate atau lebih tinggi dari angka yang sebenarnya. Besarnya overestimate ditaksir mencapai 17 persen. Akibatnya, data produksi padi/beras juga overestimate .

Karena hingga kini belum ada perubahan dalam metode pengumpulan data luas panen, saat ini overestimate pada data produksi dipastikan lebih besar lagi akibat akumulasi dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagian kalangan bahkan memperkirakan besarnya overestimate sudah di atas 20 persen.

Overestimate pada data luas panen sebetulnya sangat mudah dibuktikan dengan mengamati tren data luas panen yang dilaporkan terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara pada saat yang sama kita tahu luas lahan sawah terus menyusut akibat derasnya laju konversi lahan sawah ke lahan non-pertanian yang terjadi secara masif di wilayah-wilayah yang merupakan sentra produksi padi nasional.

Data menunjukkan, dalam 20 tahun terakhir luas lahan sawah telah berkurang 2 juta hektar. Namun luas panen justru terus meningkat dari 10,99 juta hektar pada tahun 1993 menjadi 13,77 juta hektar pada tahun 2013.

Perbaikan metode pengumpulan data luas panen sebetulnya sedang dilakukan. Metode baru  yang didasarkan pada survei statistik sedang dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama dengan BPS. Metode ini memadukan teknik statistik (probability sampling) dan teknologi penginderaan jauh (remote sensing), dan bakal diimplementasikan pada tahun 2016.

Begitupula dengan data produktivitas, akurasinya juga terus ditingkatkan dengan menambah sampel. Namun demikian, meski sampel terus ditambah, jumlah sampel untuk penaksiran produktivitas sebetulnya masih kurang. Saat ini, satu sampel plot ubinan dengan ukuran 6,25 m2 digunakan untuk menaksir produktivitas padi pada lahan seluas 188 hektar. Tentu kurang memadai untuk menggambarkan keragaman produktivitas yang dipengaruhi banyak faktor, seperti teknologi budidaya, jenis varietas, dan tingkat kesuburan tanah.

Solusi paling ideal untuk perbaikan akurasi data produksi padi/beras nasional sebetulnya adalah dengan menyerahkan sepenuhnya  pengumpulan data produksi padi/beras kepada BPS. Dengan kata lain, sistem pengumpulan data yang ada saat ini sudah semestinya ditinggalkan. Dengan sistem yang ada saat ini, tak bisa dimungkiri konflik kepentingan pasti terjadi mengingat 75 persen data yang digunakan dalam perhitungan produksi/beras nasional dikumpulkan oleh petugas dinas pertanian.

Selain itu, data produksi padi/beras sebetulnya termasuk data yang penggunaannya lintas sektor, dan menurut Undang-Undang No.16 tahun 1997 tentang statistik  data seperti ini termasuk statistik dasar yang pengumpulannya harus dilakukan oleh BPS. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline