Lihat ke Halaman Asli

Kadir Ruslan

TERVERIFIKASI

PNS

Menggenjot Kebahagiaan

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Setiap orang tentu mendambakan kebahagiaan. Di Negeri Abang Sam, mengejar kebahagiaan (pursuit of happiness) bahkan dianggap sebagai hak asasi yang melekat pada diri setiap orang, seperti halnya hak untuk hidup (life) dan memperoleh kebebasan (liberty). Dalam konteks Indonesia, tentu menarik bila kita menyoal: apakah 249 juta penduduk negeri ini sudah hidup bahagia?

Definisi kebahagiaan sangatlah kualitatif, karena menyangkut perasaan atau kondisi emosional yang dirasakan oleh seseorang pada saat tertentu. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kualitas hidup yang tengah dirasakan. Karena itu, pengukuran kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mudah.

Meskipun tak mudah, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengukur kebahagian. Upaya ini didasari oleh kesadaran bahwa kebahagiaan merupakan variabel sosial yang perlu dievaluasi progresnya.

Bhutan adalah negara pertama yang melakukan pengukuran kebahagian secara kuantitatif pada 2010. Negara ini kemudian merilis sebuah ukuran kebahagian yang disebut indeks kebahagian nasional bruto (Gross National Happiness Index).

Pada 2012, laporan bertajuk World Happiness Report dirilis untuk pertama kalinya oleh PBB. Laporan tersebut menyebutkan, Indonesia berada pada peringkat 83 dalam soal kebahagiaan dari 156 negara yang disurvei. Dalam World Happines Report 2013, ranking kebahagiaan penduduk Indonesia naik cukup signifikan dengan menempati peringkat 76 dari 156 negara.

Di Indonesia, pengukuran kebahagiaan mulai dilakukan pada 2013 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kebahagiaan diukur melalui tiga dimensi, yakni dimensi personal (pendapatan, tingkat pekerjaan, kondisi rumah, dan aset yang dimiliki), dimensi sosial (hubungan dengan individu lain yang terdekat termasuk anggota keluarga), dan dimensi lingkungan (keamanan dan hubungan dengan tetangga). Hasilnya baru saja dirilis pada Selasa lalu (15 April).

Hasil wawancara terhadap 9.500 responden yang tersebar di seluruh Indonesia menunjukkan, skor indeks kebahagian penduduk Indonesia sebesar 65,11. Artinya, mayoritas orang Indonesia merasa bahagia menjalani hidupnya. Rentang skor indeks berkisar antara 0 (sangat tidak bahagia) hingga 100 (sangat bahagia).

Namum patut diperhatikan, hal ini hanyalah gambaran umum yang sifatnya agregasi atau rata-rata. Skor 65,11 sebetulnya juga menunjukkan, proporsi orang Indonesia yang tidak bahagia masih cukup besar. Pasalnya, angka ini tak terlalu jauh dari abang batas skor ketidakbahagiaan yang sebesar 50.

Hasil survei juga memperlihatkan, pendapatan sangat berpangaruh terhadap tingkat kebahagiaan. Memang, kebahagiaan tidak melulu ditentukan oleh kondisi materi: miskin atau kaya. Tapi faktanya, di Indonesia, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya.

Nampaknya, kasus Indonesia memberi konfirmasi kebenaran pernyataan Jane Austen, novelis kondang asal Inggris: " A large income is the best recipe for happiness I ever heard of." Dan, jika faktanya demikian, kunci untuk menggenjot indeks kebahagiaan adalah memacu pertumbuhan ekonomi, karena hanya dengan cara ini pendapatan per kapita dapat ditingkatkan.

Tentunya, pertumbuhan yang diinginkan adalah pertumbuhan inklusif, yang dibarengi dengan pemerataan (growth with equity). Nyaris sepuluh tahun terakhir, kita selalu disuguhi angka-angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, 5-6 persen. Namun pada saat yang sama, ketimpangan pendapatan kian melebar dan realitas kemiskinan seolah tak banyak berubah.

Data statistik menunjukkan, pada 2013, gini rasio sudah mencapai 0,41. Artinya, ketimpangan pendapatan telah memasuki skala medium, dan pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Sementara itu, sekitar 28,6 juta penduduk negeri ini masih bergelut dengan kemiskinan. Sulit rasanya, mereka dapat merasakan kebahagiaan, bila untuk memenuhi kebutuhan hidup sebesar Rp300 ribu dalam sebelum saja mereka sudah kewalahan.

Kadir, penulis bekerja di Badan Pusat Statistik




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline