Lihat ke Halaman Asli

kadekvennyrositadewi

Mahasiswa / Universitas Pendidikan Ganesha

Mekotek Di Munggu, Mengwi : Panduan Semangat Perjuangan Dan Tradisi Bali Yang Tak Lekang Oleh Waktu

Diperbarui: 19 Desember 2024   05:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Keanekaragaman dan keindahan Bali, beserta tradisi, adat istiadat, dan budayanya yang kuat, menjadikannya pulau yang beragam dan indah. Salah satu tradisi Bali yang unik dan menarik  adalah Mekotek.

Mekotek

Sebuah ritual dilakukan di Desa Mungu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali untuk mendatangkan keselamatan dan perlindungan dari kejahatan; ini dikenal sebagai tradisi Mekotek. Tradisi ini dilakukan setiap 210 hari sekali, yakni bersamaan dengan hari Sabtu Kriwong Kuningan atau  Hari Raya Kuningan.

Sejarah Mekotek

Tradisi Mekotek berasal dari Kerajaan Mengwi dan diperkirakan sudah ada sejak tahun 1700. Tradisi ini diawali dengan kisah kemenangan Kerajaan Mengwi atas Kerajaan Brambangan di Pulau Jawa. Masyarakat Mungu yang mendukung keberadaan istana kerajaan Mengwi pun ikut terlibat dalam peperangan.

Mekotek merupakan warisan kuno yang diwariskan secara turun-temurun oleh umat Hindu Bali dan berlanjut hingga saat ini. Awalnya, Mekotek digelar untuk menyambut kedatangan prajurit dari Kerajaan Mengwi yang datang setelah kemenangannya atas Kerajaan Blambangan di Pulau Jawa, dan  tradisi ini masih berlanjut hingga saat ini.

Sarana dan Tata Cara Mekotek

Pada zaman dahulu, tradisi Mekotek yang menggunakan besi untuk memperkuat semangat juang dipraktikkan baik di dalam maupun di luar medan perang.

Banyak peserta yang ditemukan terluka, sehingga tombak  besi yang biasa digunakan dalam ritual Mekotek diganti dengan tongkat yang terbuat dari kayu murni yang sudah dikupas. Ukuran berkisar dari 2 meter hingga 3,5 meter.

Dalam upacara tersebut peserta diwajibkan mengenakan pakaian adat Madhya yaitu batik kangkat dan udeng. Peserta berkumpul di Pura Dalemung untuk memanjatkan doa dan mengungkapkan rasa syukur atas hasil pertanian. Usai salat, peserta berbaris menuju sumber air di desa Mungu.

 2.000 peserta berpartisipasi dalam parade. Mereka adalah warga Mungu yang terdiri dari 15 dusun dengan rentang usia 12 hingga 60 tahun. Selama pawai,  peserta dibagi menjadi beberapa  kelompok yang masing-masing beranggotakan 50 orang. Setiap melewati pertigaan, masing-masing kelompok menyatukan potongan-potongan kayu hingga membentuk bentuk kerucut sehingga membentuk segitiga. Kemudian mereka menari berputar-putar dengan diiringi gamelan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline