LATAR BELAKANG HARI SUCI GALUNGAN DAN KUNINGAN
Om Swastyastu, Rahajeng Galungan lan Kuningan Dumogi Shanti lan Jagaditha. Tidak disangka hari berganti menjadi minggu, dan minggu berganti bulan dengan cepatnya hari ini sudah memasuki hari besar yang sangat ditunggu-tunggu yaitu Galungan dan Kuningan dimana kita serta sanak saudara dapat berkumpul bersama, dengan berbagai makanan serta kehangatan canda tawa dari anak dan cucu, sebuah anugrah yang indah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dimasa pandemi Covid-19 ini, kita selaku umat Santana Dharma Hindu Bali dapat melaksanakan swadarma masing-masing, meskipun sangat dibatasi guna mencegah penularan virus Covid-19 ini.
Hari raya Galungan adalah hari yang sangat suci dan keramat bagi umat Hindu Bali , karena pada hari ini adalah momentum kemenangan darma melawan adharma. Latar belakang atau sejarah hari raya Galungan dan Kuningan berasal dari kisah seorang raja pada zaman dahulu kala yang sangat sakti mandrraguna yang bernama Raja Mayadenawa ia adalah raja yang sangat kejam, karena kesaktiannya ia menganggap dirinya tidak terkalahkan, dan menganggap dirinya adalah Dewa yang wajib disembah.
Oleh karena kesaktian, keangkuhan, serta kesombongannyya ia bisa menguasai seluruh Bali bahkan sampai meluas ke Lombok, Sumbawa, Bugis, Blambangan dengan mudah. Mayadenawa tidak memperbolehkan rakyat mennyembah Dewa selain menyembah dia, bahkan Mayadenawa menghancurkan tempat ibadah Pura karena rakyat tidak berani kepada Mayadenawa maka rakyat menjadi sengsara. Seorang pendeta yang Bernama Sangkul Putih atau Mpu Sangkul Putih yang merupakan pemangku dari Pura Besakih merasa sedih melihat keadaan rakyat Bali lalu Bliau melakukan semadhi dan mendapatkan petunjuk dari Dewa Mahadewa agar Ia pergi ke Jambu Dwipa (India) untuk meminta bantuan.
Akhirnya Mpu Sangkul Putih mendaptkan bantua dari India bahkan dari Kahyangan yang dipimpin oleh Bhatara Indra untuk membunuh Mayadenawa, namun Mayadenawa sudah mengetahui hal tersebut karena ia memiliki banyak mata-mata dan pada saat itu terjadilah peperangan yang sangat dasyat dan banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak ,
namun pasukan dari Mayadenawa lari meninggalkan medan pertempuran mengetahui hal ini Mayadenawa merencanakan tipu muslihat yang licik dengan merubah wujud saat malam hari lalu menuangkan racun pada sumber air pasukan Bhatara Indra agar tidak ketahuan Ia miring menggunakan kedua sisi kakinya yang dimiringkan sehingga tempat tersebut kini disebut dengan kata "Tampaksiring" dan akhirnya pada pagi hari pasukan dari Bhatara Indra keracunan saat meminum air dari sumber air tersebut mengetahui hal itu kemudian Bhatara Indra membuat sumber air baru dengan kesaktiannya yang kini disebut dengan "Tirta Empul" dan tempat mengalirnya sungai tersebut diberi nama sungai "Pakeisan"
Setelah semua pasukan kembali pulih, perangpun kembali, dalam pelariannya Mauadenawa juga sempat bersembunnyi di dalam Goa yang kini disebut dengan "Goa Mayadenawa" serta Mayadenawa beberapa kali merubah wujudnya agar tidak dikenali oleh musuh.
Ia juga sempat berubah menjadi burung yang sangat besar yang disebut dengan Manuk Raya sehingga di desa tersebut di namai dengan "Manukaya" namun karena kesaktiannya Bhatara Indra dengan mudal mengenali Mayadenawa dan pada akhirnya Mayadenawa tewas oleh Bhatara Indra, darah yang mengalir dari mayat Mayadenawa membentuk aliran sungai yang kini diberi nama sungai "Petanu" Mayadenawa memberikan kutukan kepada "barang siapa yang menggunakan air sungai tersebut untuk mengaliri sawah maka, padi akan tumbuh dengan cepat namun disaat memanen padi tersebut akan mengeluarkan darah dan bau" namun kutukan tersebut hanya berlaku 1000 tahun saja dan kini kutukan tersebut telah berakhir.
Atas kemenagan Bhatara Indra melawan Mayadenawa tersebut di simbolkan menjadi kemenangan darma melawan adharma atau kemenangan kebaikan melawan kejahatan yang diperingati sebagai Hari Galungan dan Kuningan, kata Galungan diambil dari bahasa Jawa Kuna yang memiliki arti bertarung, atau biasa disebut Dungulan yang artinya menang sedangkan Kuningan memiliki makna kauningan yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara mengintrospeksi diri.
Hari Raya ini jatuh setiap 6 bulan Bali (210) hari pada wuku Dungulan dimana pada hari ini adalah hari kemenangan darma melawan adharma, pada saat hari raya galungan hal yang sangat identik adalah pemasangan penjor di setiap rumah-rumah warga Hindu Bali, penjor merupakan symbol dari Naga Ananthaboga dan Naga Basukih , bagian-bagian dari penjor yaitu phala bungkah phala gantung (buah-buahan serta umbi-umbian) sampyan penjor, kober yang berisi tulisan om kara, serta beberapa variasi yang dari zaman ke zaman yang membuat Penjor tersebut menjadi lebih seni dan menarik .