Lihat ke Halaman Asli

Tradisi Meboros I Bulu Pangi dalam Rangka Upacara Ngusaba Desa Adat Kekeran, Busungbiu, Buleleng, Bali

Diperbarui: 26 Maret 2024   13:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tradisi meboros merupakan sebuah tradisi yang berkembang sejak zaman prasejarah, tradisi meboros ini adalah salah satu rangkain dari kegiatan ngusabe yang dilaksanakan di pure puseh desa adat kekeran, tradisi ini juga sering di sebut dengan meboros I bulu pangi atau yang lebih di kenal dengan meboros, meboros sendiri juga memiliki arti yaitu berburu.
Meboros adalah tradisi yang di lakukan oleh masyarakat desa adat kekeran yang bertujuan untuk menangkap kijang (I bulu pangi) yang akan di gunakan untuk sarana perlengkapan dalam upacara ngusabe desa kekeran, masyarakat desa kekeran sangat percaya bahwa kijang (I bulu pangi) yang di dapat dalam plaksanaan meboros bukanlah kijang biasa.
Plaksanaan tradisi meboros ini di awali dengan sangkep yang bertujuan untuk menyusun srategi dan menentukan lokasi plaksanaan meboros yang akan di laksanakan pada keesokan harinya, tepat pada pukul 06:00 pagi, masyarakat desa kekeran berkumpul di depan pure desa guna melakukan persembahyangan agar di beri keselamatan dalam plaksanaan meboros, dimana nantinya masyarakat desa akan pergi ke hutan yang bernama pinang biu dan bukit kutul yang terletak di perbatasan desa puncaksari.

Setelah siap, masyarakat desa mulai memakai topi yang terbuat dari upih atau pelepah daun pinang yang sudah kering bertujuan untuk penyamaran, dan selain itu masyarakat juga tak lupa mempersiapkan alat-alat yang nantinya mendukung pada saat menangkap kijang seperti parang, sabit, panah, dan juga jaring, setelah sampainya di hutan pinang biu biasanya masyarakat desa akan mempersiapkan berbagi formasi untuk menangkap kijang seperti yang saya ketahui pada umumnya masyarakat desa menggunakan formasi melingkar.

Pada saat formasi sudah siap biasanya masyarakt desa akan mekerab atau berteriak dengan lantang sambil berjalan maju yang bertujuan untuk membuat kijang keluar dari persembunyiannya dan merasa ketakutan, biasanya kijang yang sudah ketakutan akan keluar dari persembunyianya, dan masyarakat desa kekeran sudah bersiap untuk menangkap kijang tersebu, kijang tersebut biasanya akan di lumpuhkan dengan cara di tebas mengunakan parang ataupun sabit.

Kijang yang sudah di tangkap maka akan di ikat di sebuah mambu dan diarak menuju pure puseh dese kekeran, setelah sampai di perbatasan desa kekeran masyarakat desa kekeran dan kijang yang sudah di tangkap akan di sambut dengan gong / gambelan dan tarit arian guna untuk mempringati keberhasilan dalam berburu, setelah sampai di pure desa kijang pun akan di arak mengelilingi pure desa sebanyak tiga kali, kijang pun lanjut di sembelih guna di olah menjadi paci-paci dan dibuat sebagai pelengkap banten atau sesajen caru.

Akan ada kalanya masyarakat desa kekeran tidak dapat menemukan kijang pada hari pertama maka dari itu perburuan / meboros akan di lanjutakan ke esokan harinya, dan biasanya masyarakat desa di berikan tengan waktu untuk berburu yaitu selama tiga hari, apabila selama tiga hari masyarakat desa kekeran tidak dapat atau tidak mampu menemukan kijang ataupun menangkap kijang upacara di pure desa akan di undur, karna sarana kijang ini sangat penting untuk kegiatan atau keberlangsungan upacar ngusabe itu sendiri, jumlah kijang yang di gunak dalam upacara ngusabe ini biasanya mengunakan dua ekor kijang apabila masyarakat desa kekeran hanya mendapat satu ekor kijang saja, maka hanya satu yang akan di jadikan sebagai pelengkap dalam upacara ngusabe tersebut.

Kegiatan atau upacara ngusabe ini biasanya di laksanakan lima tahun sekali, maka dari itu kegiatan ini atau tradisi meboros ini terbilang cukup unika di karnakan jangka waktu untuk melihatnya cukup lumayan lama yaitu selama lima tahun sekali, kebertahanan tradisi meboros ini perlu di lestarikan agar tradisi ini tidak mengalami kemudaran dalam plaksanaannya dan menjaga dari kepunahan agar bisa di laksanakan hingga jangka waktu yang lama di kemudian hari, hal itu di anggap penting karna tradisi ini merupakan rangkaian dari pelaksanaan upacara keagamaan dalam hal Dewa yadnya, maka jika tradisi ini hilang maka akan mengalami kendala dalam pelaksanaan upacara Dewa yadnya trutama di pure puseh desa adat kekeran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline