Lihat ke Halaman Asli

Novel Saman: Peran Sastra Dalam Jiwa Zaman

Diperbarui: 10 Juni 2020   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampul Novel Saman sumber gambar: ruangbacaan.com

Siapa yang tak mengenal Ayu Utami? Seorang novelis yang merupakan lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini berhasil menyuguhkan tema yang eksentrik dan dituliskan dengan latar panggung yang kontroversial. Temanya yang eksentrik berusaha untuk membuka pembungkaman media yang telah dikontrol penuh oleh penguasa sehingga dapat dikatakan bahwa novelnya sebagai reaksi atas penodaan kebebasan ekspresi dan pers. Novel Saman lahir sebagai media perlawanan untuk menghilangkan suatu perdamaian dan kenyamanan ilusi di masa Orde Baru dan perspektif perempuan dalam kajian tabu yakni seksualitas.

Secara ringkas, novel Saman bercerita tentang empat perempuan yang bersahabat yaitu Shakuntala, Cokorda, Yasmin dan Laila. Dua di antara keempat sahabat ini ternyata menyimpan rasa suka yang sama pada seorang pemuda bernama Saman. Saman telah beristri dan merupakan bekas seorang pastor, saat ini tengah menjadi buronan rezim Orde Baru karena keterlibatan aktivisnya yang menggangu kepentingan rezim tersebut. 

Bukan sembarang namun aktual. Plot cerita yang dibangun Ayu Utami mengungkapkan betapa ambisius kepentingan oligarki dalam lingkup istana Orde Baru yang mendewakan paham kapitalisme dan membumihanguskan paham komunisme. Bahkan bilamana paham komunis telah hilang namun apakah dapat dibenarkan apabila ketika tuduhan komunis tersebut tertuju padamu tanpa bukti yang mendasari itu? Inilah yang dialami Saman ketika tengah melayani umat yang menjadi kelompok marginal akibat disingkirkan karena proyek. Bukan sembarang proyek namun tetap bertahan hingga saat ini yaitu perluasan perkebunan kelapa sawit. Tak heran bahkan pasca Orde Baru, proyek ini terus digaungkan dan menjadikan Indonesia sebagai negeri eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia.

Tuduhan komunis menjadi senjata ampuh untuk mendapatkan lahan proyek dan melanggengkan kekuasaan. Saman yang tak kuasa melihat kebrutalan para aparat akhirnya terpaksa mengakui ia komunis dan berkehendak menggulingkan rezim. Setelah aparat mendapatkan bukti tersebut dan kemudian diberitakan di media massa, akhirnya Saman terpaksa meninggalkan Keparokiannya dan melepas perannya sebagai seorang pastur. Novel Saman ini mengkritik media massa yang telah dikendalikan penguasa dan cenderung bersikukuh tetap satu pandangan dengan pemerintah. Ini mencederai kebebasan pers dan jurnalistik untuk menyampaikan kebenaran apa adanya.

Novel ini pun secara gamblang dalam awal cerita begitu rakusnya perusahaan tambang dalam mengeksploitasi alam dan mengabaikan keselamatan pekerja dan lingkungan. Keuntungan yang dipundi-pundi ternyata tidak membuka empati kepada pekerja yang menjadi korban dalam kecelakaan saat bekerja. Alih-alih mengganti rugi atau berempati, mereka menutupi kasus tersebut. Yang mengherankan mereka bisa membayar biaya yang besar untuk pengacara atau para bandit untuk menutup mulut korban dan saksi mata.

 Represifitas aparat sebagai perpanjang tangan penguasa bukanlah hal yang baru dalam negeri yang berlandaskan hukum. Euforia tersebut sangat dirasakan di masa Orde Baru. Bukan hanya sebagai alat penguasa, namun para aparat ini kerap dipakai oleh para pemodal dan pengusaha besar untuk mengamankan proyek-proyek dan menutup mulut para aktivis atau relawan pejuang keadilan. Masyarakat yang kena imbas akibat proyek tersebut hanyalah bisa menunduk pada perintah penggusuran dan penertiban. 

Peran perempuan yang dilakonkan dalam novel ini mengangkat hal yang tabu untuk tidak diobrolkan yaitu seksualitas. Semenjak Orde Baru, industri perfilman dan media hiburan lainnya acapkali mempertontonkan martabat perempuan 'yang gampangan'. Sebut saja film drama "Akibat Pergaulan Bebas" (1978) dan "Yang Muda Yang Bercinta" (1977). Gairah akan fantasi seksualitas menunjukkan konsep hubungan perempuan dan lelaki pada masa itu. Unsur-unsur seks inilah yang diselipkan dalam novel Saman dengan bahasa vulgar dan erotis. Laila yang 'telat pubertas' dan Yasmin yang 'bercumbu dalam surat' ialah contoh lakon dua perempuan ini menjalin hubungan tanpa status dengan Saman.

Seksualitas bisa ditonton dan dibaca namun pengungkapan kebenaran seperti penangkapan, penculikan dan penghilangan para aktivis terasa kontraduktif. Novel Saman ini mengajak kita bahwa kebenaran harus tetap dicari, belenggu dan pengekangan harus diberantas, keadilan atas hajat hidup orang banyak harus diperjuangkan daripada kepentingan kelompok oligarki di lingkaran penguasa. Karya sastra tidak pernah tenggelam dan mati oleh jiwa zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline