Pekan ini, ketika mendengar berita korban kekerasan pendidikan, ingatan saya terlempar ke masa sekolah dulu, belasan tahun lalu. Di usia 14 tahun saya melanjutkan pendidikan ke suatu sekolah menengah yang jauh dari rumah. Aroma tekanan langsung tercium pada hari pertama di asrama. Perut sedang kenyang selepas makan siang, saya dihukum 20 kali push-up karena dianggap kurang sopan di meja makan. "Kalau makan, kepalamu tetap tegak, sendok yang mendekat ke mulut, jangan kayak bebek lagi makan!", teriak seorang senior. Siswa baru di tingkat 1 didoktrin untuk hormat dan patuh pada perintah senior. Beragam aturan berlaku, sedikit yang tertulis, banyak yang lisan. Aturan yang positif seperti saat olahraga rutin, baris-berbaris, latihan bela negara memang sangat bermanfaat. Namun ada setumpuk larangan khusus untuk junior, yang terdengar remeh, seperti dilarang menonton TV di 4 bulan pertama, tak boleh jalan kaki di trotoar, haram mendekati ruang barak senior, jangan menjinjing tas ransel sekolah.
Kegiatan resmi siswa dimulai sejak lari pagi di jam 4.30 dan diakhiri apel malam di pukul 21.30. Di tengahnya ada makan pagi, belajar pagi, makan siang, belajar sore, fitness sore, makan malam dan belajar malam. Aktivitas yang begitu padat ini masih ditambah dengan 'berkumpul' hingga larut malam. Para junior dikumpulkan di lorong barak, berbaris rapi, mendengar titah senior. Saban hari ada saja kesalahan yang dituduhkan, dihukum push-up, sit-up, pull-up, jalan jongkok, merayap itu biasa. Senior yang gampang naik pitam seakan berlomba memainkan tangan dan kakinya. Saya pun masih ingat siapa saja senior yang memberikan kontak fisik. Teman-teman yang diduga melakukan kesalahan berat dipisahkan, dikerumuni senior yang ingin memberi kado ekstra. Ritual kumpul pun selesai, para junior tak bisa lekas tidur, sibuk merapikan lemari dan membersihkan lantai yang dibanjiri keringat. Tak perlu heran dengan pemandangan banyak siswa mengantuk saat belajar di kelas.
Sekolah model begini gampang dikenali. Pendidikan berasrama, seragam ketat, rambut cepak, sistem senioritas, junior hormat tangan ke senior. Sebagian berupa perguruan tinggi kedinasan sipil dan militer, sebagian lainnya setara SMA/SMK. Para senior terjebak tradisi menghukum junior secara fisik. Dendam atas seniornya yang lebih dahulu 'menyentuhnya' dilampiaskan kepada junior. Bayangkan para senior seperti ini mungkin akan jadi abdi negara, prajurit, pegawai yang arogan, tak menoleransi kesalahan bawahan. Mental para junior begitu jatuh, sangat ciut terhadap senior, tidak berani melapor, tak kuasa berurusan panjang dengan pengelola sekolah, lembaga, pejabat di atasnya, takut mundur keluar dan mengecewakan orang tua. Pengelola sekolah kadang mengaku tak tahu tradisi di sana atau mungkin sengaja menutupi fakta demi jabatan semata.
Para murid wajib ikhlas menghentikan tradisi ini, perlakukan murid lain sebagai insan akademik. Tiada manusia yang berhak menindas manusia lain. Tak ada orang tua yang rela anaknya dianiaya. Maafkan tindakan senior dan jangan wariskan ke junior. Periksa kesehatan jika pernah menerima 'ajaran'. Laporkan tindak kekerasan, karena ini perbuatan kriminal.
Pengelola sekolah mesti sepaham bahwa pendidikan bertujuan membangun karakter positif peserta didik melalui proses transfer ilmu pengetahuan. Sistem kekerasan fisik bukan cara terbaik untuk mendidik. Negara sebaiknya mengevaluasi sistem pendidikan seperti ini. Apakah sesuai dengan profil lulusan yang diinginkan?
Penegak hukum harus bergerak cepat, membongkar praktik serupa di beberapa sekolah lainnya, termasuk di lembaga pendidikan mereka juga. Tak sulit mencari saksi, karena tradisi ini pasti diketahui seluruh murid.
Orang tua hendaknya jeli memberikan pilihan yang manusiawi untuk pendidikan anaknya. Kebanggaan mengirimkan anaknya ke sekolah gratis, melihat anaknya berbadan tegap dan mengharapkan kepastian berdinas kerja setelah lulus, jelas tak sebanding dengan nyawa yang hilang sia-sia. Waspadai adanya perpeloncoan saat orientasi murid/mahasiswa baru di sekolah manapun. Cukuplah ada korban sampai di sini saja. Selamatkan masa depan anak-anak kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H