Duka menyelimutiku sabtu pagi kemarin. SMS dari rekan kerjaku yang sering kupanggil mbak Vin, membuat aku diam untuk beberapa saat. “Rud, Nana (nama samaran) meninggal” begitu isi pesannya. OMG, baru saja aku berencana untuk membesuknya, ternyata dia sudah berpulang lebih dulu ke pangkuan-Nya.
Tidak pernah terbayang bahwa dia akan pergi secepat itu. Selama ini memang dia sering keluar masuk rumah sakit. Minimal 2 bulan sekali pasti dia harus rawat inap di rumah sakit. Entah karena dia demam ataupun batuk yang tak kunjung reda. Tapi selama dia di rawat inap, paling hanya 3 hari lamanya dia mendapatkan perawatan. Setelah itu dia akan sehat dan pulang kembali.
Kemarin ini memang kasusnya berbeda. Febuari pertengahan dia tiba-tiba demam dan tubuhnya turun 4 kg secara drastis. Saya mengantarkan Nana waktu dia masuk ke rumah sakit. Nenek yang merupakan perawat sekaligus pengasuh Nana juga kaget melihat kondisi Nana yang demikian. Setelah mendapat perawatan selama satu minggu Nana akhirnya boleh pulang.
Setelah pulang kondisinya semakin buruk. Mbak Vin mengupayakan untuk mendapat perawatan di RSCM. Namun disana kamar penuh. Akhirnya Nana kembali dimasukan ke rumah sakit Tarakan sambil menunggu kamar RSCM kosong. Dijanjikan Nana mendapat prioritas untuk mendapat kamar di kamar tumbuh kembang anak. Tapi kenyataannya Nana tidak kuat untuk melawan virus ganas dalam tubuhnya itu. Dia menghembuskan nafas terakhirnya sabtu pagi kemarin.
Banyak cerita tentang Nana. Dia merupakan bungsu dari tiga bersaudara. Anaknya aktif dan periang. Walau kakinya tidak bisa digerakkan dengan lincah seperti kebanyakan anak lainnya karena pertumbuhannya yang tidak normal, namun itu tidak menyurutkan keinginannya untuk bisa bermain dengan teman sebayanya.
Setiap kali saya datang ke rumahnya, dia selalu menyambut saya dengan senyum khasnya. Yah.. senyum khasnya yang menunjukan gigi ompongnya itu sungguh menggemaskan. Ketika di foto dia akan memakai kacamata hitam punya bapaknya atau tangannya ditempelkan ke pipi seperti gaya anak abg jaman sekarang. Bicaranya tidak lancar dan sulit dipahami. Hanya nenek dan bibinya yang mengerti. Tapi untuk urusan makan dia jagonya.
Kini semua tinggal kenangan. Saya sungguh kehilangan sosok bocah kecil ini. Tapi yang pasti dia sudah damai dan tidak perlu lagi bersusah payah minum obat ARV setiap hari. Tidak perlu lagi melawan virus jahanam dalam dirinya. Dia sudah tenang dalam istirahat terakhirnya.
Sejujurnya, banyak kisah juga dibelakang ini. Misalnya tentang bagaimana nenek harus mengantri di rumah sakit Tarakan untuk mengambil nomor karena untuk mendapatkan perawatan KJS, loket dibuka dari jam 3 pagi sampai jam 7!!! Setelah itu semua orang yang mendaftar dikenakan biaya umum alias KJS tidak bisa berlaku lagi. Belum lagi dokter yang seperti ogah-ogahan untuk memeriksa Nana dan lain sebagainya. Nanti akan saya ceritakan bagaimana bobroknya sistem kesehatan di Jakarta ini. Sungguh parah.
Semoga saja Nana mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Dia sudah mengakhiri perjuangannya. Masih ada banyak anak-anak seperti Nana yang juga sedang berjuang untuk melawan virus dalam dirinya. Semoga mereka hidup sehat dan tidak menyerah terhadap virus HIV yang hidup dalam darah mereka.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H