Lihat ke Halaman Asli

Rudi Mulia

Konselor

Mari Budayakan Perilaku Berani Mengakui Kesalahan Demi Anak Cucu

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Entah siapa penyebar virus tidak tahu malu ini muncul dan mungkin juga virus ini sedang menerjang sebagian besar orang Indonesia. Sedang bakteri penangkal yang berupa keberanian untuk mengakui kesalahan sendiri tampaknya sudah mulai pudar. Banyak orang yang terjangkit virus tidak berani mengakui perbuatannya yang salah dan justru menyalahkan orang lain.  Pagi ini ketika berangkat ke kantor, ada kejadian yang mencontohkan hal ini.

Seorang pengemudi motor sedang melawan arus di bilangan roxy, persis di bawah jembatan layang sebelum rel kereta api. Jalan ini memang sering kali dilalui kendaraan yang melawan arus hanya untuk memotong jalan. Singkatnya, pengemudi ini menyenggol seorang pengendara lain yang berjalan dalam arah yang benar. Bukannya mengakui kesalahannya, pengemudi tidak tahu diri ini malah marah-marah dan menyalahi pengemudi yang benar. Benar-benar tidak tahu diri!

Sepertinya keengganan untuk berani minta maaf bila bersalah sudah tertular dari satu orang ke orang lain. Mulai dari pemimpin puncak di bangsa ini sampai pemimpin kelas rendahan. Kalau dalam bahasa olah raga sudah tidak ada lagi sportifitas. Orang lebih baik menyimpan/melakukan dosa daripada harus mengakui perbuatannya yang salah.

Memang ketika membuat suatu kesalahan, ada dua pilihan yang mungkin dilakukan, melemparkan kepada orang lain atau segera mengakui dan memperbaiki kesalahan. Pilihan pertama tentu lebih mudah dilakukan. Dan, mungkin saja, secara tidak sadar sempat terlintas di benak kita. Namun, untuk melakukan pilihan kedua, rasanya cukup berat bagi sebagian besar orang. Rasa malu dan takut kehilangan muka barangkali menjadi acuan untuk menyembunyikan kesalahan.

Teringat dengan kasus-kasus korupsi di Indonesia yang sudah jelas-jelas semua bukti mengarah kepada dirinya, eh masih saja melemparkan kesalahan kepada orang lain. Padahal rasa malu yang ditanggung akan semakin besar bila pada keputusan akhirnya dialah yang bersalah. Lagipula, jika kabar tentang kesalahan itu sudah "beredar" cukup lama, bisa jadi kesalahan itu tampak dibesar-besarkan. Sehingga, akan lebih sulit memberikan penjelasan yang sebenarnya.

Kadang saya berpikir apa orang yang tidak berani mengakui kesalahannya itu, urat malunya sudah putus atau mukanya sedang dalam perbaikan ya?hehehe…. Mungkin orang yang takut mengakui kesalahannya itu lebih besar gengsinnya daripada jiwanya. Rasa gengsi yang besar untuk mengakui kesalahan hanya membuat diri tidak nyaman karena harus menyimpan dosa dalam diri.

Seandainya pengemudi motor tadi berani mengakui kesalahannya langsung hal yang mungkin terjadi adalah wajah akan memerah dan panas. Tapi, hal itu akan jauh lebih dihargai daripada langsung marah-marah. Paling yang terjadi selanjutnya adalah tegoran atau senyuman untuk memperbaiki kesalahan. Jadi, rasanya tidak perlu lagi mengusung gengsi dan tidak mau mengakui kesalahan. Mari budayakan perilaku untuk berani mengaku kesalahan bila itu memang menjadi kesalahan kita. Jangan sampai anak cucu kita bersikap lebih parah daripada kita nantinya bila kita tidak bertobat.



Siapa menyembunyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa mengakuinya dan meninggalkannya akan disayangi. Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline