Lihat ke Halaman Asli

Rudi Mulia

Konselor

Masa Depan Anak-anak yang Terdampak HIV/AIDS

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bekerja sebagai manager kasus yang menangani anak-anak yang terdampak/terinfeksi HIV/AIDS memberikan banyak pengalaman baru. Seminggu 2x saya turun ke lapangan untuk menemui mereka. Entah di rumah sakit, rumah mereka atau tempat-tempat yang disepakati.

Fokus pelayanan saya selain kepada anak-anak tersebut, juga kepada para pengasuh yang merawat mereka. Pengasuh disini bisa orangtua mereka, kakek atau nenek mereka atau keluarga terdekat mereka. Ada anak yang kehilangan orangtuanya dan kini dirawat kakek neneknya, ada yang diasuh oleh orangtua angkat karena keluarga besar mereka menolak anak ini karena terdampak HIV dan juga karena orangtuanya sudah meninggal semua. Anak paling terkecil yang kami tangani berusia 2 tahun. Dia mendapatkan 'bonus' dari mamanya melalui ASI dan mamanya sendiri juga tidak tahu kalau dia memiliki 'warisan' ini. Selidik punya selidik ternyata virusnya datang dari papa yang 'jajan' sembarangan.

Dalam bahasa medis, penyebaran virus HIV/AIDS disebut sebagai epidemi yang berarti virus penyakit yang penyeberannya sangat meluas. Itu sebabnya mengatasi masalah AIDS tidak hanya menjadi tugas dari para petugas kesehatan masyarakat tetapi tugas semua anggota masyarakat dan itu dimulai dari dalam keluarga. Kesulitan terbesar kami selaku manager kasus dan para pengasuh selain berusaha menepis tanggapan orang tentang HIV/AIDS adalah upaya mereka untuk merawat dan membesarkan anak-anak dengan HIV/AIDS ini seperti anak-anak sehat lainnya. Banyak dari pengasuh yang sering mengalami tekanan secara emosi karena merasa tidak sanggup untuk membesarkan anak-anak ini.

Tekanan terbesar yang dihadapi para pengasuh adalah ketakutan tentang apa yang telah mereka lakukan akan menjadi sia-sia. Para pengasuh secara sadar tahu, bahwa belum ada vaksin yang bisa melenyapkan virus HIV/AIDS dari tubuh anak-anak ini. Obat ARV (Antiretroviral) yang dikosumsi anak-anak setiap hari, hanya berfungsi untuk menekan jumlah virus untuk berkembang. Inilah yang membuat para pengasuh terkadang putus harapan dalam membesarkan anak-anak yang terdampak virus HIV/AIDS.

Melalui tulisan ini, saya hanya mengadvokasi para pembaca supaya menghilangkan stigma dan diskriminasi kepada orang-orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Anak-anak yang hidup dengan virus HIV/AIDS juga sangat membutuhkan dukungan dari lingkungan terdekat, dan dalam hal ini lingkungan terdekat mereka adalah keluarga. Namun bila keluarga tersebut mengalami stigma dan diskriminasi dari masyarakat maka semakin susah bagi keluarga tersebut untuk membesarkan anak-anaknya. Anak-anak ini juga membutuhkan uluran tangan dari orang lain agar bisa melangsungkan hidupnya secara wajar. Jadi mari bekerja sama untuk merawat dan membesarkan mereka dengan cara tidak memberikan stigma dan diskriminasi kepada keluarga dan anak-anak yang terdampak HIV/AIDS.

Semoga bermanfaat.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline