Lihat ke Halaman Asli

Rudi Mulia

Konselor

Apa Salahku?

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau aku dapat memilih....

Aku ingin menjadi pelangi,

saat gerimis datang menyatu dengan matahari yang menyilaukan.

Tapi aku hanya sebuah warna suram,

Tak ada matahari yang menemani.

Januari 2007,menjadi tahun yang suram bagiku.Sebut saja namaku Ibu Toni. Tahun itu, suamiku meninggal setelah hampir sepekan lamanya menjalani perawatan intensif di sebuah rumah sakit di wilayah Jakarta Pusat. Kesedihan dan rasa pilu ini belum kering terasa, saat dokter menyampaikan berita jika almarhum suamiku dan juga diriku dinyatakan HIV positif.

Hah...?HIV positif? Kata-kata itu terngiang dalam hati dan pikiranku. Rasa bingung, gundah sekaligus sedih menjadi satu. Tiba-tiba aroma kematian seakan begitu dekat dengan diriku. Kengerian itu makin terasa mengingat dua orang anak yang lahir dari rahimku, akankah mereka juga menerima “warisan” itu?

Rasa penyesalan makin menyeruak dalam hatiku. Mengapa dulu aku membiarkan saja saat suamiku memakai barang terkutuk itu. Mengapa aku terlambat mengingatkannya untuk menjauhi Narkoba? Saat kemudian dokter kembali menyampaikan berita tentang anak-anakku... si sulung negatif HIV, hal ini sungguh melegakan batinku. Tapi, si bungsu, Toni, dia HIV positif. Rasanya gemetar seluruh persendian tubuhku, menerima kenyataan itu.

Semenjak kepergian suamiku, segalanya berubah. Para tetangga yang dulunya baik, kini mulai menjauhiku. Pandangan mereka pun terlihat sinis menghujam, seakan-akan menelanjangiku. Gerak-gerikku pun tak luput dari pandangan mereka. Rasa itu semakin membuatku sedih, saat anak-anak mereka pun tak lagi diperbolehkan bermain dengan Toni. Apa yang paling menghancurkan diriku selain hal itu, melihat sorot sedih di pelupuk mata anak bungsuku? Tapi bukankah aku, kami, juga harus tetap menjalani sisa hidup ini? Ke mana kami harus berlari dan bersembunyi, saat kekelaman menyelimuti hidup ini? Ah, ini mungkin sebagian dari ujian hidup yang harus kujalani, ucapku menghibur diri.

Tapi saat hidup terasa semakin sulit... Tuhan jua yang selalu membukakan jalan-Nya. Inilah yang menguatkan aku untuk selalu berharap kepada-Nya. Dia juga yang memberikan pertolongan bagiku dan anak-anakku, melalui keluarga dari almarhum suamiku. Sebuah rumah agar kami bisa pulang, tinggal dan berteduh. Juga ikut membantu menanggung biaya hidup anak-anakku. Aku sendiri sekarang mulai bekerja membantu menjaga warung makanan, milik keluarga suamiku.

Kini, delapan tahun hampir berlalu...aku dan putra bungsuku, Toni, masih setia meminum ARV, agar setidaknya perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh kami bisa sedikit ditangkal. Terkadang rasa bosan, jenuh dan enggan menggoda dengan hebatnya agar aku tak lagi meminum obat ini. Tapi setiap kali aku mengingat anak-anakku dan masa depan mereka, aku berusaha menepiskan semua godaan itu. Hanya inilah harapanku untuk bisa menjalani sisa hidupku.

Satu hal lagi, Toni sudah memasuki obat lini 2, yang artinya jikaterjadi resisten atau virus HIV yang mengalami kekebalan terhadap obat-obatan lini 2, maka tidak akan ada lagi obat penggantinya. Mengingat kondisi Toni yang demikian, aku merasa terpacu untuk lebih kreatif dan pintar membujuk dia untuk meminum obat-obatnya. Tambah lagi sekarang, Toni yang baru kelas 1 SD, sudah semakin pintar mencari teman, lebih sering menghabiskan banyak waktunya di luar rumah. Memang ia telah mengerti jika positif HIV, tapi seperti layaknya anak-anak seusianya, belum begitu bisa memahami apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Sehingga saban kali waktu minum obat tiba, mendadak dia hilang, dan kami sibuk untuk mencarinya. Bersyukur, putra sulungku, memahami apa yang terjadi padaku dan juga adiknya, dia banyak membantuku.

Saat ini kondisiku dan Toni, tidak terlalu baik. Kami seringkali merasa drop dan mudah jatuh sakit. Kakiku beberapa kali mengalami bengkak dan telah kucoba untuk memeriksakannya, namun belum juga menampakkan hasilnya. Aku ingin terus sehat, karena aku ingin dapat terus melihat anak-anakku bertumbuh sehat, menjadi anak-anak yang pintar. Terkadang dalam hatiku muncul sebuah kerinduan untuk kembali dapat membangun sebuah rumah tangga yang bahagia. Aku ingin hidupku juga kembali berwarna.

Artikel lainnya yang berkaitan dengan isu HIV:

- Kisah anak dengan HIV: hentikan diskriminasi

- Ketika sang Ibu sudah bosan hidup

- Akhirnya ia kalah oleh virus HIV

- Suka duka menjadi manager kasus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline