Lihat ke Halaman Asli

Rudi Mulia

Konselor

Sepenggal Kisah Ibu dengan HIV Positif

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seonggok Rumput,

layu di musim kemarau,

kuning mengering dan hampir mati.

Tapi tetes hujan memberikannya kehidupan,

sekali di musim panas.

25 Mei 2008, merupakan tanggal kelam dalam perjalanan hidupku. Pada tanggal itu, suamiku yang terbaring lemah di ranjang sebuah rumah sakit daerah, divonis telah terinfeksi virus HIV. Hasil ini didapat setelah suamiku mengikuti saran dokter untuk menjalani tes VCT (Voluntary Counseling and Testing).

Kaget, sedih, marah, kecewa, takut, bercampur dengan perasaan negatif lainnya, mulai hinggap menghampiriku. Aku seperti berada dalam sebuah lembah kekelaman. Dalam keadaan bingung seperti itu, aku juga harus menjaga anak semata wayang kami yang baru berusia tujuh bulan, karena dia juga dirawat di rumah sakit karena didiagnosa mengalami gizi buruk. Badannya kurus hampir tak berdaging, demikian pula diare yang terus menerus tak kunjung berhenti. Tak hanya itu, dokter juga mengatakan bahwa anakku mengalami TBC akut.

Dua orang yang aku sayangi berada dalam keadaan kritis, membuatku hidupku tanpa asa. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi aku dan anakkku juga mengalami hal yang serupa dengan suamiku. Kami didiagnosa juga terinfeksi virus HIV, setelah memeriksakan darah kami. Saat itu, seakan-akan dunia terasa akan berakhir. Tak ada lagi keceriaan dan kesenangan yang kualami. Aku bertanya kepada Sang Khalik, mengapa Dia bersikap tidak adil padaku? Mengapa Dia memberikan cobaan yang begitu berat?

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Keadaan suamiku tak kunjung membaik. Sedang putri kami perlahan-lahan kondisinya mulai menunjukan perubahan yang bagus. Berbagai upaya dilakukan supaya suamiku cepat pulih dan bisa berkumpul kembali. Namun upayaku akhirnya kandas juga setelah virus HIV itu menyerang sistem syaraf otaknya. Obat yang dia minum terlambat untuk menekan jumlah virus yang sudah beranak-pinak dalam dirinya. Ia pun meninggal dunia

Sejujurnya aku tak bisa menerima keadaan ini. Aku merasa tak mampu menjalani kehidupan seperti ini. Mengapa aku harus kehilangan orang yang aku sayangi di saat kami dianugerahi seorang putri yang cantik? Keinginanku hanyalah kami bisa merawat dan membesarkan putri kami ini bersama. Tapi aku sadar, manusia memang bisa berencana seperti apapun, tapi Tuhan pula yang menentukannya.  Saat itu aku mulai mencoba bangkit dari keterpurukanku.

Sepeninggal suamiku, aku menjalani hidup sebagai orang-tua tunggal bagi putriku. Status baru sebagai seorang janda yang terinfeksi HIV, tidak membatasiku dalam berkarya. Keluarga besar dan para tetangga pun tahu mengenai status HIV ku ini. Bersyukur mereka tidak memberikan stigma dan diskriminasi kepada kami. Mereka justru merasa prihatin dan mau memberikan dukungan dalam berbagai bentuk bagi kehidupan kami.

Enam tahun sudah kami hidup dengan virus HIV. Enam tahun pula, kami terus mengkonsumsi ARV (antiretroviral). Selama enam tahun ini pula aku selalu mengingatkan putriku untuk selalu rajin minum obat. Sampai saat ini, dia memang tidak tahu sakit yang dideritanya. Kerap kali dia bertanya, “Mengapa aku harus minum obat setiap hari?” Aku pun selalu menjawab, “Obat  itu yang akan membuat kamu cantik. Kalau minum obat itu, kulitmu pun tidak akan menjadi hitam.”

Sejauh ini, trik jawaban itu selalu berhasil untuk meyakinkan dia mau untuk meminum obatnya. Namun aku sadar, cepat atau lambat trik ini akan menjadi usang. Aku harus mencari trik baru untuk terus meyakinkan dia untuk terus mau meminum obat ARV setiap hari. Bukan berarti aku inginterus menerus berbohong. Aku menunggu kesempatan yang pas untuk bisa jujur mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Untuk saat ini, rasanya belum tepat. Dia masih kecil, pengetahuannya pun terbatas. Mungkin 3-4 tahun lagi aku baru bisa jujur padanya.

Bila ada kesempatan, aku juga ingin membangun mahligai rumah tangga yang baru. Ini tidak gampang, karena suamiku harus bisa menerima keadaanku dan putriku. Tapi itu tidak menjadi perhatian utamaku. Saat ini aku harus fokus memberikan yang terbaik bagi putri semata wayangku. Hanya dia yang menjadi alasanku untuk terus bertahan dan menjalani kehidupanku. Walau keadaan sulit sekalipun, saat aku dapat melihatnya tersenyum, tertawa dan lincah bermain bersamaku, itu menjadi kekuatan tersendiri bagiku. Putriku adalah suplemen hidupku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline