Indonesia merupakan Negara ketiga dalam mengosumsi beras, di atas Negara China, dan India. Pada tahun 2017, Indonesia tercatat sebagai konsumsi beras per kapitanya hampir 150 kilogram. Meskipun Negara kita menduduki peringkat ketiga dalam memproduksi beras, kita masih haris mengimpor beras hampir setiap tahunnya.
Ini terjadi karena produksi beras di Indonesia didominasi oleh petani kecil, bukan oleh perusahaan swasta atau milik Negara besar. Petani kecil menyumbang sekitar 90 persen dari produksi beras Indonesia, masing-masing petani juga memegang lahan kurang dari 0,5 persen. Di satu sisi juga, beras di Indonesia yang dimulai dari tangan petani tidak langsung didistribusikan ke masyarakat.
Awalnya, buruh tani di Indonesia tidak langsung memilih untuk mendistribusikan gabah mereka kepada pemerintah. Sebab patokan harga yang diberikan pemerintah kepada buruh tani lebih kecil daripada mendistribusikannya kepada pengusaha besar. Jika petani memasarkan gabahnya kepada Bulog, HPP (Harga PilihanPemerintah) yang dipatok oleh Bulog kepada petani kecil sekitar 3700 per kilogram.
Hal ini memberikan dampak kepada para petani memilih mendistribusikan gabah mereka kepada pemilik lahan, lalu dari pemilik lahan itu, gabah yang diperoleh dari petani ditimbang dan dikeringkan . Dari laporan CNN News pada tanggal 7 mei 2018, mengatakan bahwa buruh tani hanya mendapat 1 : 6 dari total gabah yang mereka panen. Untuk satu kilogram gabah, buruh tani mendapat harga 4000 -- 5000 rupiah jika gabah mereka dipasarkan kepada pemilik tanah.
Panjang Rantai Harga Beras.
Dari buruh tani sendiri, gabah akan diberikan kepada Pemilik Lahan. Sementara di tangan pemilik lahan, gabah yang sudah dikeringkan dan ditimbang akan dijual kembali kepada Tengkulak dengan harga maksimal 5000 per kilogram. Tengkulak merupakan orang yang paling penting untuk menentukan harga eceran tertinggi saat telah dipasarkan.
Di sini gabah digiling menjadi beras, dan untuk biaya produksi gabah menjadi beras hampir 25.000 rupiah dalam 100 kilogram gabah. Usai digiling beras akan didistribusikan kepada agen besar, lalu bisa dikosumsi oleh masyarakat. Itu pun belum berada di tangan pedagang eceran dengan biaya ongkos kirimnya.
Menjelang bulan Ramadhan kekhawatiran naiknya harga beras justru semakin besar. meskipun pemerintah memiliki harga eceran tertiggi (HET). Dari sini Bulog berperan aktif untuk menjaga kestabilan beras di Negara kita. Pemerintah menggunakan pendekatan untuk mencapai swasembada beras. Disadur dari halaman situs Indonesia Investman, pemerintah mendorong para petani untuk meningkatkan produksi mereka dengan merangsang inovasi tekhnologi.
Perum Bulog membangun distribusi berbasis kerakyatan, yang bernama Rumah Pangan Kita (RPK). Tujuan dibangun RPK sendiri untuk memberi stabilisasi harga kepada panganan pokok, terutama dalam bidang beras. Bisa disimpulan RPK merupakan solusi terbaik untuk memberikan kenyamanan kepada masyarakat sederhana.
Saya sendiri juga baru mengetahui jika bulog mendirikan RPK kepada masyarakat baru-baru ini karena event yang diakan oleh Kompasiana. Menurut saya sendiri, RPK merupakan program kerjasama antara masyarakat untuk membangun jiwa enterpreneurship dan membangkitkan ekonomi masyarakat. Apalagi jika harga produk RPK dengan produk makanan pokok yang lainnya sangat amat jauh berbeda. Produk RPK sendiri bisa dikatakan lebih murah daripada harga pasar yang sering saya jumpai saat berbelanja beras di pasar.
Kebanggan saya mulai bertambah ketika beberapa hari yang lalu, saya mencoba mencicipi produk andalan beras milik RPK ini. Kebiasaan keluarga saya, nasi putih selalu dicampur dengan beras merah, sebab kami memang menyukai hidup sehat dengan mengosumsi beras yang tinggi seratnya. Awalnya keluarga saya merasa gamang jika beras ini akan enak dicampurkan bersama beras merah, tetapi nyatanya, setalah buka puasa, kami merasakan beras ini sangat enak, kenyal dan pulen.