Lihat ke Halaman Asli

Dani Febri

Penulis adalah mahasiswa aktif Institut Teknologi dan Bisnis Widya Gama Lumajang

Polemik Pernikahan Santriwati Tanpa Pengetahuan Sang Ayah di Lumajang

Diperbarui: 30 Juni 2024   19:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Sang Ayah Ketika di Wawancara/dok tangkapan layar pribadi

Kekerasan seksual di Lumajang dari Januari 2024 -- Juni 2024 terhitung kurang lebih 5 kasus. Salah satunya kasus pernikahan antara pengurus pondok pesantren di Candipuro-Lumajang dan salah satu santrinya tanpa izin dari orang tua santri telah mencuat sebagai sorotan masyarakat. Kejadian ini tidak hanya menjadi kontroversi,  tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang etika, perlindungan anak, dan tata kelola lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia.

Etika dan Tanggung Jawab Pengasuh
Sebagai pengurus pondok pesantren, seseorang yang telah diberi amanah untuk mendidik, melindungi, dan membimbing santri dalam aspek agama dan moral. Tindakan menikahi santri tanpa izin dari orang tua santri tidak hanya melanggar norma etika yang berlaku,  tetapi juga mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap integritas seorang pendidik.
Dalam konteks kasus di pondok pesantren di Candipuro, Lumajang, dimana pengurus ponpes dilaporkan menikahi santrinya tanpa izin dari orang tua santri. Terutama jika salah satu pihak masih berusia dibawah umur,  dapat dianggap bentuk pencabulan terhadap anak. Dapat disebut dengan PEDOFIL (pemangsa anak-anak). Hal ini karena anak dibawah umur belum memiliki kapasitas hukum untuk memberikan persetujuan yang sah dalam pernikahan. Secara hukum pernikahan tanpa izin orang tua atau wali yang sah dapat dianggap melanggar hak-hak anak dan merupakan pelanggaran serius terhadap perlindungan anak.
"Laporannya persetubuhan karena ini sudah umur. Meskipun nanti dia mengatakan sudah dikawin sirih, gapapa tapi pelaku pada anak pidana. Mangkanya polres ini sudah ancang-ancang pasti pidana, apalgi kawin sirih nya tanpa ada wali orang tua berarti ada bujuk dan rayu". Ujar Daniel pendamping hukum korban dari Lembaga Perlindungan Anak.
Kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya penegakan nilai-nilai moral, etika dan kepatuhan terhadap hukum dalam setiap tindakan yang diambil oleh pihak yang memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan dan perlindungan anak. Masyarakat, pemerintah, dan pihak terkait perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa lembaga pendidikan agama tetap menjadi tempat yang aman, bermoral, dan bertanggung jawab dalam membimbing generasi muda.
Dengan mengekspos kasus-kasus ini secara terbuka dan tegas, kita tidak hanya menuntut keadilan bagi korban-korban yang telah terkuka,  tetapi juga menegaskan komitmen untuk menjaga masa depan generasi muda dari ancaman yang merusak.

Penulis: Ranim Sagita (Kader HMI Lumajang) 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline