Lihat ke Halaman Asli

Dani Febri

Terpercaya, Akurat, dan Kredibel

Pemilu 2024: Pemilih Muda menjadi Sasaran Empuk Post Truth Era

Diperbarui: 14 Januari 2024   17:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Ilustrasi

Situasi politik Indonesia pada momentum menjalang pemilu 2024 yang akan dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024 semakin absurd. Berbeda pada momen pemilu 2014 atau pemilu 2019 lalu, pemilu 2024 kali ini di dominasi pemilih muda. Sebesar 55% data yang dirilis KPU RI pemilih pada pemilu 2024 di dominasi generasi Millenial dan Gen Z. 

Sangat disayangkan, besarnya jumlah pemilih muda ini kerap dimanipulasi keluguan dan keapatisannya untuk dimanfaatkan suaranya saja. sehingga menjadi sasaran empuk di post truth era. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya pendidikan politik yang diterima dan gagalnya rezim sekarang menjalankan perintah konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, terbukti IQ nasional kita sebesar 78% sekitar 20% diatas simpanse (sumber data: laporan World Population Review 2023).

Era post truth ini tidak terlepas semakin masifnya perkembangan dunia digitalisasi. Sehingga banyak penetrasi informasi yang tidak terbendung. Masyarakat Indonesia sering kali menelaah mentah-mentah dari kemudahan informasi yang di dapat. Padahal Informasi yang diperoleh itu belum tentu kebenarannya. 

Dari hal itu lah para politikus banyak yang memanfaatkan kepentingan kelompok mereka pada Pemilu 2024. Bilamana hal ini dianggap remeh, yaitu era post truth pada pemilu 2024, maka bangsa Indonesia di ambang pembodohan dan perpecahan. Misalnya kita ambil contoh apa yang terjadi di negara Timur ketika peristiwa Arab Spring seperti di Syiria, negara tersebut terkoyak-koyak akibat berita hoaks di era post truth yang terjadi dalam konflik politik antara rezim yang berkuasa Bashar Al Assad dengan kelompok oposisi. 

Masyarakat Syiria terperosok ke dalam kubangan hoaks, tanpa melakukan klarifikasi dan verifikasi atas berita yang diterima (tanpa tabayyun), melainkan mereka langsung menyerap mentah-mentah semua informasi itu yang cenderung mengadu-domba antara kelompok Islam Sunni dengan kelompok Islam Syiah. 

Informasi yang beredar langsung diserap menjadi asumsi personal dan membentuk opini yang bersifat dangkal dan subjektif sehingga membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan selanjutnya menimbulkan perpecahan. Indonesia harus benar-benar menyaring dan tidak mudah terprovokasi akibat ulah para politikus yang hanya mentingkan kepentingan kelompok mereka.

Dewasa ini, melimpahnya informasi pada masyarakat Indonesia di era post truth memunculkan sejumlah dampak sosial. Pada tahun 2016, Oxford menjadikan kata post truth sebagai "Word of the Year". Seperti kita ketahui, masyarakat Indonesia sangat aktif berinteraksi melalui media sosial untuk memenuhi kebutuhan informasinya. Bagi sebagian orang, agak sulit untuk membedakan mana berita yang benar dan mana berita yang bohong (hoaks). 

Hoaks selalu hilir-mudik menghiasi berita di media sosial yang seolah-olah menjadi pasokan sumber berita rutin bagi masyarakat Indonesia, terutama menjelang saat hari pencoblosan, dan pasca pencoblosan pada Pemilu 2019. Pemanfaatan media sosial guna kepentingan politik banyak disalahgunakan oleh sebagian orang atau kelompok tertentu untuk merebut perhatian dan simpati masyarakat. 

Media sosial yang seharusnya digunakan untuk melakukan literasi agar masyarakat Indonesia paham tentang politik dan mengetahui hak dan kewajibannya dalam bidang politik, justru oleh sebagian orang atau kelompok digunakan sebagai media propaganda dan provokasi untuk menjatuhkan lawan politik. Inilah yang disebut dengan hoaks politiik yaitu berita bohong tentang politik yang digunakan sebagai propaganda untuk memprovokasi masyarakat agar terpengaruh sesuai konten berita, hal ini populer terjadi di era post truth.

Istilah post truth menurut Kamus Oxford dapat didefinisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Problem masyarakat bukan pada bagaimana mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline