Kekerasan Berbasis Gender
Haruskah Gubernur Minta Maaf??
Padang-- Baru saja Sumbar dihebohkan dengan berita perdagangan anak. Korban trafficking itu puluhan orang dan semuanya perempuan di bawah umur. Beberapa orang ditemukan terlantar di Jakarta. Beritanya memenuhi media ibukota, koran lokal terdiam. Ada yang diam-diam membantah, mana pula mungkin, di bumi matrilineal minangkabau yang jaya raya ini ada perempuan diperdagangkan? Bukankah setiap jengkal tanah dan kekayaan yang ada di atasnya adalah milik perempuan?
Berita-berita miris kekerasan berbasis gender memang menjadi terus, juga di Sumbar. Gubernur bilang masyarakat harus hati-hati, jangan gampang diiming-imingi gaji besar. Keluarga dan lingkungan juga diminta oleh gubernur untuk saling mengawasi. Tentu saja selaku pemerintah, harus mengatakan itu. Masak gubernur akan minta maaf pula kepada warga,
"Maafkan saya, sudah lalai membiarkan perempuan dan anak-anak kita yang seharusnya hidup senang dan bahagia di bumi yang makmur gemah ripah ini harus terjual, jadi komoditi dan terlunta-lunta dengan harga diri yang lebih buruk dari zaman perbudakan. Maafkan saya selaku gubernur belum bisa membuat kalian sejahtera..."
Tidak ada, gubernur tidak akan minta maaf pada rakyat di muka media. Mudah-mudahan di dalam sujudnya, dalam munajatnya pada tuhan, permintaan ampun itu terucap.
Data dari dinas tenaga kerja menyebutkan, secara nasional kasus perdagangan orang di Indonesia tinggi. Semenjak tahun 2019 sampai tahun lalu tercatat sebanyak 1331 orang, 97 persen korban adalah perempuan dan anak. Akar masalahnya kompleks, kemiskinan, pendidikan rendah, lapangan kerja minim.
Apakah semua itu kesalahan pemerintah? Tidak mampu mengentaskan kemiskinan, tidak bisa memberikan pendidikan yang berkualitas, tidak mampu menyediakan lapangan kerja? Oh, tidak? Jadi salah rakyatkah? Rakyat dihimbau berhati-hati, jangan gampang teriming-iming gaji besar dan jangan tergoda sesuatu yang tidak pasti, begitukah?
Kisah kemiskinan, pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak terus terjadi. Bahkan karena terus berulang itu, jurnalispun sampai bosan bahkan menjadi biasa saja dengan berita serupa. Setiap menulis kasus anglenya itu itu saja.
Gelisah dengan keadaan ini, kawan-kawan jurnalis perempuan yang tegabung dalam Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumatera Barat kemudian memutar akal, mencari jalan. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan kunjungan kerja ke Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M). Ini dilakukan guna mempelajari lebih dalam mengenai isu-isu perempuan, kekerasan berbasis gender dan bagaimana mengkampanyekan kesadaran anti kekerasan seksual di Sumatera Barat.
Isu kekerasan seksual berbasis gender di Sumatera Barat masih menjadi persoalan pembangunan yang sensitif untuk dibahas. Kendala agama dan budaya seringkali membuat pererintah sangat berhati-hati terhadaap isu ini, padahal hal ini merupakan masalah konkrit dan terjadi sehari-hari, demikian dikatakan ketua FJPI Sumbar, Nita Indrawati Arifin.