Lihat ke Halaman Asli

Saat Pertama Kali Menetap di Kampung Halaman "Sungai Jariang"

Diperbarui: 16 November 2019   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

SAAT PERTAMA KALI MENETAP DI KAMPUNG HALAMAN "SUNGAI JARIANG"Ada baiknya mengenalkan daerah asal usul nenek moyangmu. Dari situlah, kamu bisa berada di bumi ini. Maret 2005 saat itu gempa melanda Pulau Nias, aku sekeluarga pulang kampung ke Minangkabau,  Asli deh, meski saya sangat amat bersuku Minangkabau tapi saya menganggap saya adalah "Padang Singkek" yang tidak bisa berbicara bahasa Minang kala itu, tidak mengerti adat istiadat dan sebagainya. Istilah "Padang Singkek" itu saya sebut sendiri untuk merujuk kepada orang Minang yang tidak bisa berbahasa Minang, tidak tahu adat istiadat dan tidak pernah tinggal di ranah Minang.

Apa boleh buat. Saya lahir di Gunung Sitoli, Ayah saya melewati 20 tahun hidupnya di Gunung Sitoli beserta keluarganya. Begitu pula ibuku. Sungguh aku kurang paham adat minang, Jadi apa yang bisa aku dapatkan dari Minangkabau kecuali di dalam darahku mengalir gen dan DNA ras Deutro Malayan , ras orang Minang? Hanya jawaban gagah yang keluar dari mulut ketika ditanya "Kamu orang apa?" "Minang!!" "Minangnya dimana?" "Di Bukittinggi"  "Bukittingginya dimana?" Ups, dimana ya? "Sungai Jariang.." jawabku kencang.

Tapi kuatnya DNA Minang di dalam darah, menyadari saya bahwa saya terkait 100% dengan tanah Minangkabau. Meski ingatan tentang Minang hanya secuil kala itu. Tahun 2005 ketika pertamakalinya saya pulang dan menetap ke Minangkabau, alm. Mama begitu gegap gempita memperkenalkan tanah kelahirannya dan begitu bangganya bahwa orang Minang itu adalah sebuah suku yang banyak melahirkan orang-orang berpendirian dan berpendidikan.

Setibanya di Bukittinggi, di suatu pagi yang berembun, mobil kami meluncur dari hotel The Hills, Bukittinggi. Tujuan utama pagi itu adalah ke kampung Sungai Jariang. Ih, Sungai Jengkol. Nggak banget sih artinya. Eh, tapi kampung itu adalah cikal bakal kehidupan aku, lo. Bukankah Minangkabau menganut adat Matriakhat, dimana perempuan mewarisi marga keluarga? Ya tentu saja. Onde mande, untunglah perjalanan sekitar  6 kilometer dari pusat kota Bukittinggi menuju kampung Sungai Jariang tidak membosankan. Sepanjang jalan sejak dari Ngarai Sianok saya dihidangkan pemandangan spektakuler. Sawah, sungai, pepohonan rimbun, sayur-sayuran khas dataran tinggi.Nggak  heran deh kalau   saya termasuk golongan orang-orang pecinta dataran tinggi dan udara sejuk. Darah saya berasal dari sini

Tiba di Sungai Jariang saya celingak- celingok di sebuah warung sebut saja pemilik warungnya (Pak Dus) sebab saya baru mengenal ritme hidup di kampung kala itu, Ketika saya sedang terpana, saya bertemu dengan seorang bapak-bapak yang rupanya sesuku dengan saya, Guci. Ah, marga kok seperti brand, merek. Mungkinkah ada pula marga Christian Dior dan Prada hahahahaa. Tapi itu benar. Saya keturunan Guci hhhahaha."Dany Guci" atau "Laila Andaryani Hadis Guci" Hahahahahahhhahahaa...

Oke, kenapa Sungai Jariang sangat penting bagi saya. Di kampung Sungai Jariang yang merupakan kampung halaman dan tempat menetap saat ini. Dalam kehidupan masyarakat di kampung saya, mereka menganut sistem matrilineal. Dimana sang ibu memiliki posisi tertinggi dalam keluarga, dan sebagai penurun nama keluarga untuk generasi berikutnya. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan ayah, disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline