Lihat ke Halaman Asli

Pajak, Gotong Royong, Integritas Pejabat Publik & Manusia Amoral

Diperbarui: 9 Januari 2016   18:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

“ Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua ”. (Bung Karno )

Porsi penerimaan pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam lima tahun terakhir cenderung meningkat dan kisarannya berada di atas 70 persen. Posisi ini dapat dibaca bahwa begitu  penting dan  strategisnya peran pajak dalam keberlangsungan kehidupan di Republik ini. 

Realisasi penerimaan pajak  tahun 2015 jauh berada dibawah target yang ditetapkan dalam APBN-P. Dari target yang ditetapkan sebesar Rp. 1.295 T dalam APBN-P 2015, jumlah penerimaan pajak hanya mencapai Rp. 1.084. T ( +/- 83 persen ). Kondisi ini merupakan pengulangan dari tahun-tahun sebelumnya. Setidak-tidaknya dalam lima tahun terakhir ( 2010-2015 ) tidak sekalipun penerimaan pajak bisa mencapai target. 

Jika diukur dengan pendekatan tax ratio, masih terdapat ruang yang sangat cukup ( potensi ) untuk meningkatkan penerimaan pajak. Sebagai negara yang berada dalam kelompok  lower middle income country, besaran tax ratio  Indonesia ( arti luas ) dalam lima tahun terakhir masih berada dibawah 15 % sementara untuk negara-negara yang setara dengan Indonesia besarannya  berada antara 19 persen sampai dengan 26 persen. Jika besaran tax ratio Indonesia tahun 2010 s.d. tahun 2015 dapat direalisasikan sampai pada 18 persen  tentu saja   penerimaan negara dari  pajak bisa dicapai.  

Fakta di atas mengundang keprihatinan kita semua. Banyak pihak menilai bahwa ketidakmampuan pencapaian penerimaan pajak adalah bentuk kegagalan otoritas pajak dalam mengemban tugas pokoknya namun Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi kendala bagi pemerintah ( otoritas pajak ) dalam menarik pajak yaitu data dari wajib pajak yang masih belum akurat. "Dirjen Pajak itu nyari duitnya tutup mata. Dia tidak tahu persis potensi pajaknya, jadi hanya meraba dan menarik apa yang bisa ditarik karena datanya memang tidak jelas," ujar Bambang di Jakarta, Rabu, 16 Desember 2015. 

Pernyataan Menteri Keuangan tersebut boleh jadi benar. Tanpa mengetahui potensi pajak dan data yang jelas mengenai wajib pajak maka mustahil untuk mendorong meningkatnya penerimaan pajak.  Kesulitan  mendasar dalam menguji tingkat kepatuhan  wajib pajak adalah tidak adanya data dan informasi yang lengkap dan terpercaya mengenai warga Negara. Indonesia belum mempunyai data administrasi kependudukan yang tertib dan akurat yang digunakan sebagai obyek yang sama oleh para pihak/lembaga  untuk mencatat semua informasi tentang seseorang ( KTP, Paport, SIM, rekening Bank, Kepemilikan Property, Kendaraan bermotor, Asuransi dll ).

EKTP yang sudah dikerjakan pemerintah nampaknya belum sepenuhnya bisa diharapkan. Pemerintah perlu mendorong pemberlakuan EKTP sebagai identitas unik yang sama meskipun dikelola lembaga yang berbeda. Ini merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera diwujudkan negara. Tidak hanya untuk kepentingan perpajakan tetapi juga untuk kepentingan yang lebih luas lagi yaitu tercapainya Indonesia yang kita cita-citakan (adil, makmur dan beradab). Memperlakukan EKTP sebagai Single identity number akan menghasilkan keterpaduan sistem informasi. Dengan adanya keterpaduan, maka proses analisis informasi untuk kepentingan perpajakan yang melibatkan data dari berbagai  pihak/lembaga  dapat dilakukan dengan mudah. Kondisi ini tentu saja mempersempit ruang bagi wajib pajak untuk berlaku curang dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 

Pemerintah telah menetapkan target penerimaan pajak tahun 2016  sebesar Rp. 1.368 T. berkaca pada fakta lima tahun terakhir,  sepanjang data administrasi kependudukan yang tersedia belum  tertib, akurat dan terkoneksi maka sekeras dan secerdas apapun upaya yang dilakukan oleh otoritas pajak kemungkinan penerimaan mencapai target sulit direalisasi. 

Keadaan di atas diperparah lagi oleh kurangnya pemahaman masyarakat  terhadap arti penting pajak dalam keberlangsungan kehidupan sehingga berujung pada rendahnya tingkat kepatuhan dalam membayar pajak (tax compliance). Data tahun 2013 menunjukkan dari 60 juta orang yang penghasilannya diprediksi seharusnya sudah membayar pajak ( diatas PTKP ), baru 20 juta orang yang terdaftar sebagai wajib pajak (ber-NPWP) dan dari 20 juta tersebut yang menyampaikan surat pemberitahuan pajak  (SPT) hanya sekitar 8,8 juta orang. Terkait wajib pajak badan, keadaannya sama sebangun. Dari 5 juta badan hukum terdaftar, baru sekitar 1,9 juta yang telah ber-NPWP  dan dari 1,9 juta tersebut yang menyampaikan surat pemberitahuan pajak ( SPT ) kurang lebih hanya 1 juta badan hukum. Institusi Negara ( diluar otoritas pajak ), pemerintah daerah, BUMN/BUMD dll yang perannya diharapkan bisa menjadi katalisator untuk peningkatan “sadar pajak” masyarakat dengan mengaitkan “pajak” dalam setiap layanan publik sesuai tupoksi masing-masing juga belum sepenuhnya bisa diharapkan. 

Kondisi ini agaknya disadari oleh pelaksana tugas ( Plt ) Direktur Jenderal pajak Ken Dwijugiasteadi. Dalam keadaan data administrasi kependudukan seperti sekarang ini dan masih rendahnya kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak maka sukses tidaknya  penerimaan pajak tidak hanya berada ditangan otoritas pajak, ia juga adalah tugas segenap komponen bangsa. Dalam sebuah wawancara Desember lalu  setelah dilantik menjadi pelaksana tugas ( Plt ) Direktur Jenderal pajak, Ken mengatakan bahwa prinsip self assessment jika tidak didukung secara gotong royong tidak akan berhasil. Sepertinya Ken ingin mencari cara lain yang tumbuh & mengakar ditengah-tengah masyarakat kita yaitu jiwa & semangat  kegotongroyongan yang karena disorientasi makna kemoderenan, jiwa & semangat  tersebut hilang. 

Sudah saatnya bangsa ini memaknai pajak sebagai wujud atau bentuk lain  dari gotong royong. Beberapa nilai positif dari gotong royong seperti kebersamaan, kekeluargaan, keadilan, sukarela, tanggung jawab, peran aktif dan kesatuan menjadi kekuatan penentu dalam menjaga dan memelihara  morale compliance  masyarakat. Dalam masyarakat tradisional, budaya gotong royong dapat menggerakkan  individu secara fisik datang bersama-sama membangun sarana umum ( public services ). Masing-masing kelompok masyarakat punya cara dan mekanisme untuk mengajak warga yang tingkat morale compliance nya rendah antara lain dengan meng-explore rasa malu individual. Dalam masyarakat modern, pajak sebagai bentuk lain  dari jiwa & semangat gotong royong seharusnya  dapat menjadi kekuatan luar biasa dari bangsa ini dalam menghimpun dana pembangunan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline