Lihat ke Halaman Asli

IMRON SUPRIYADI

Jurnalis Tinggal di Palembang

Cerpen | Gorengan Dunia Akhirat

Diperbarui: 7 Agustus 2018   20:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: tribunnews.com

Sehari setelah peresmian mushala menjadi masjid, secara aklamasi Abdul Muis terpilih sebagai ketua pengurus Masjid Nurul Iman malam itu. Semula, alumnus perguruan tinggi Agama Islam di Palembang ini sekadar menjadi ketua panitia peresmian.

Namun, keberhasilannya mendatangkan bupati dalam peresmian kali itu, memantik kepercayaan warga sekitar, menempatkan Abdul Muis menjadi ketua pengurus masjid. Tak ada lagi kata menolak malam itu. Tak ayal, Abdul Muis harus menerima posisi yang baru kali pertama dijabatnya.

Pengalaman di organisasi kampus yang pernah ia geluti, tak membuatnya kesulitan memimpin kepengurusan masjid. Meskipun ia sadar, memimpin masjid tak bisa disamakan dengan lembaga kampus yang pernah diembannya.

Bermodal bisa membaca Al-quran, Suroh Yasin dan sedikit dalil, kian menguatkan warga, pilihannya tepat memosisikan Abdul Muis sebagai ketua pengurus masjid. Belum lagi dengan sejumlah kegiatan remaja masjid, yang dibentuk satu pekan berikutnya. Kian ramai remaja sekitar yang ikut serta dengan berbagai aktifitas kegamaan dan sosial di masjid.

Dua bulan berjalan tanpa rintangan. Tak ada hal aneh yang ia temukan saat duduk sebagai pengurus masjid. Semua berjalan normal. Kegiatan peringatan hari besar Islam yang datang tepat pada bulan kedua, sempat mendatangkan penceramah kondang dari Kota Jakarta. Tak pelak lagi, jemaah yang hadir membludak.

"Baru kali ini ada penceramah dari Jakarta di komplek ini. Sebelumnya yang diundang hanya dai-dai lokal. Maklum, namanya juga mushala, jadi ya asal ada acara saja," ujar Mang Temin, pensiunan tambang di era 80-an, saat berbincang kecil dengan Abdul Muis.

Warga tak mengetahui, kalau Ahmad Mustakim penceramah asal Jakarta itu adalah teman akrab Abdul Muis semasa di kampus, yang kali itu datang bertamu ke rumahnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Mustakim langsung didaulat untuk menjadi penceramah di acara Maulid Nabi Muhammad SAW. Pikir Abdul Muis, ini kesempatan untuk mengangkat nama masjid di komplek itu.

Sejak acara itu, kepercayaan warga kian bertambah pada Abdul Muis. Kaum tua dan remaja yang selama ini tak pernah bersatu dalam jadwal petugas shalat Jumat, semua membaur dalam tatanan acara yang apik dan rapi. Sejak bilal, masyirol, qori' dan khotib Jumat dibuat sedemikian rupa. Pembauran antara kaum tua dan remaja masjid pun termaktub dalam jadwal pelaksanaan setiap kegiatan shaat Jumat.

"Pak Ustadz, ini ada sumbangan dari Pak Jaka, untuk minta didoakan. Anaknya sudah S.2, tapi masih menganggur. Keluarganya minta agar jemaaah masjid mendoakan supaya anak Pak Jaka mendapat pekerjaan," ujar Pak Komar, yang dipercaya menjadi bendahara masjid.

"O, iya. Silakan dimasukkan kas masjid, nanti kita doakan bersama," kata Abdul Muis seolah sudah terbiasa mendoakan jemaah. Padahal, kejadian itu baru kali pertama ia temui. Sebab, selama ini, Abdul Muis semasa di Palembang, lebih banyak terlambat datang saat shalat Jumat ketimbang duduk di shaf paling depan. Jadi wajar, bila Abdul Muis tidak mengetahui ada tradisi mendoakan  jemaah masjid menjelang shalat Jumat. Apalagi doa bersama, jauh dari pikiran Abdul Muis.

"Silakan dihitung dulu, supaya bisa kita catat berapa jumlahnya," ujar Pak Komar meminta Abdul Muis untuk memerinci jumlah sumbangan siang itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline