Lihat ke Halaman Asli

IMRON SUPRIYADI

Jurnalis Tinggal di Palembang

Kapitalisasi Media dan Pergeseran “Ideologi” Jurnalis

Diperbarui: 31 Agustus 2015   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Hampir semua kalangan mengetahui, fungsi media massa selain sebagai informasi, hiburan dan  pendidikan, juga sebagai kontrol sosial. Teori ini,  sudah demikian mengakar, terutama dikalangan jurnalis. Atau paling tidak, pengetahuan ini akan diterima oleh mahasiswa semester satu, khususnya yang sedang menempuh mata kuliah jurnalistik.  Tidak berlebihan jika kemudian saya berani mengatakan fungsi media massa yang  tersebut diatas tadi, sudah seharusnya menjadi “ideologi” (landasan dasar pemikiran) bagi setiap pelaku dan pengelola media massa, cetak maupun elektronik.

Namun di tengah upaya menjaga “ideologi” ini, media massa juga dihadapkan pada banyak hal. Salah satunya adalah tuntutan profesionalitas. Tuntutan ini,  sudah tentu membutuhkan biaya (cost) tinggi, terutama untuk menyejahterakan para jurnalis-nya. Memberi upah yang layak bagi jurnalis menjadi penting artinya, agar para jurnalis tetap menjaga “ideologi”-nya, dan tidak terkontaminasi oleh “candu amplop”.

 

Ideologi oplagh

Guna meningkatkan kesejahteraan ini, tentu saja sebuah institusi pers tidak “diharamkan” jika kemudian memburu iklan. Sebab, diakui atau tidak, sudah menjadi rahasia umum jika hidup dan matinya media massa akan sangat ditentukan oleh suntikan iklan. Tetapi ada sebuah kenyataan yang kemudian kita saya miris, ketika sebuah media massa kemudian meninggalkan “ideologi” pers–nya yang notabene sebagai informasi, hiburan, pendidikan dan kontrol sosial, lantas meraup halaman koran atau jam tayang media elektronik dipenuh oleh iklan. Ini memang bukan satu dosa bagi sebuah institusi pers untuk menangguk iklan sebesar-besarnya. 

Tetapi tanpa mempertimbangkan hak pembaca dan pemirsa yang seharusnya lebih banyak mendapat informasi “berita” dari pada sekedar iklan, ini sebaiknya juga menjadi pertimbangan bagi para pengelola media massa. Kenapa ini menjadi penting? Sebab, selain memang ada undang-undang khusus yang mengatur persentase pemasangan iklan sebesar 20 persen pada media massa, tetapi “meng-agungkan” iklan semata tanpa mempertimbangkan tanggungjawab moral-sosial dan hak masyarakat, juga bagian dari pengingkaran “ideologi” pers itu sendiri. Kecuali jika kemudian semua pengelola institusi pers sepakat, mengganti ideologi media massa ini bukan lagi  tanggungjawab moral tetapi ideologi-nya menjadi “oplagh atau iklan”.

Di tengah realitas demokrasi seperti sekarang, kapitalisasi media massa menjadi sesuatu yang tidak asig lagi. Dan konsekuensinya, ideologi media massa sudah mengalami pergeseran, dari “ideologi moral” menjadi “ideologi 0oplagh”. Jumlah eksemplar atau “oplagh” dan pendapatan iklan kini sudah menjadi ideologi.

Ironisnya, pernah terjadi pada sebuah media massa di Palembang, sebuah berita yang cukup penting, harus tergusur oleh karena  halaman kota dipenuhi iklan. Pada kondisi ini, seorang jurnalis sering dihadapkan pada posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi, ingin mengedepankan idealisme-nya tetapi di sisi lain ia juga harus hidup dari iklan. Dengan kenyataan seperti inilah, bukan saja jurnalis pemula atau yang senior sering kesulitan menjaga ideologi-nya untuk tetap mengedepankan pesan-pesan moral-nya ketimbang harus menghujani halaman koran atau tayangan siarannya televisi dan radio dengan iklan.

Akibat pergeseran ideologi ini, sering mengakibatkan dis-orientasi seorang jurnalis, dari  posisinya sebagai “pemburu berita” menjelma menjadi “pemburu iklan”.  Jika ini yang sekarang terjadi, berarti berapa juta jurnalis di Indoensia sedang “terjajah” oleh rupiah.

Mencari  penghasilan, memang hak asasi bagi setiap jurnalis. Tetapi, terkooptasi oleh pencarian iklan, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai dan moralitas, juga bagian dari proses pembodohan bagi masyarakat, atau juga bagi diri sendiri. Maka menjadi sebuah catatan, jika kemudian dalam Haria Pers Nasional (HPN) 2008, Presiden SBY mencanangkan perlunya sensor bagi setiap berita. Sensor dimasud bukan melalui Menteri Penerangan, melainkan sensor itu dilakukan sendiri oleh media, oleh jurnalis dan redaktur. Pernyataan ini secara langsung atau tidak, sebagai bentuk “keprihatinan” SBY, terhadap sejumlah media massa, yang cenderung mendahulukan oplagh ketimbang moral.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline