Bulan ketiga di tahun 2019, tepatnya hari ke 5 aku masih berada di kota penuh tradisi ini, kota yang tak pernah mati sekalipun di jam melewati tengah malam. Pagi ini jalanan didepan hotel kawasan para bule singgah, Prawirotaman sudah padat lalu lalang sepeda motor dan pejalan kaki. Sebungkus bubur ayam khas desa yang kubeli dari pasar Prawirotaman cukup mengisi perut yang sejak semalam kosong gegara gravitasi kasur hotel yang menarikku erat.
Perjalanan hari ini adalah tertuju ke kompleks Kraton Yogyakarta yang sudah kuagendakan sejak lama. Terik matahari menjelang siang ini sungguh membuat malas untuk keluar. Namun hasrat keingintahuanku tentang Kraton Yogyakarta ini ternyata lebih kuat dari apapun hari ini. Maklum, sebagai pelancong harus benar-benar memanfaatkan waktu di kota yang selalu membuat rindu ini.
Cukup dekat dari hotel tempatku singgah menuju kraton, kurang dari 15 menit sudah sampai. Sebuah loket tiket masuk di sisi barat depan kraton sudah dibuka sejak jam 8 pagi tadi. Perlu kawan ketahui, pintu masuk kraton Yogyakarta ini ada dua, satu di depan sebagai pintu masuk ke Pagelaran dan satu pintu di Regol Keben di sebelah selatan.
Aku sengaja masuk lewat Regol Keben karena didalamnya kita akan menemui banyak aktifitas abdi dalem kraton dalam bertugas sehari-hari. Memasuki Regol Srimanganti disana ada sebuah tempat pagelaran kesenian, kebetulan siang ini adalah jadwal pementasan kesenian uyon-uyon, yakni tembang Jawa yang diiringi dengan gendhing klasik. Irama megah, dengan cengkok tembang Jawa sungguh membuat suasana panas siang itu menjadi sangat sejuk dan damai.
Sinden yang berjumlah 2 orang duduk timpuh, atau melipat kedua kaki sebagai alas duduk menembangkan lagu dengan bahasa yang sama sekali aku tak mampu memahaminya sekalipun satu kosakata. Wiyogo, sebutan bagi para penabuh gamelan terlihat kalem memainkan alat musik mereka seperti kendang, gender, saron dan rebab. Sungguh sebuah alunan yang membuat nyaman siang itu.
Usai menikmati beberapa alunan gendhing klasik, mataku tertuju serombongan ibu-ibu dengan di barisan paling depan memegang payung kuning besar dengan rumbai-rumbainya. Setengah berlari aku menghampiri, namun mereka bergegas memasuki bangunan yang kemudian aku tahu sebagai dapur atau patehan, tempat dimana para abdi dalem menyiapkan minuman di kraton. Dengan sedikit keraguan aku memasuki ruang itu. Seorang abdi dalem dengan senyum ramah menjaga ruang itu.
Mereka para barisan ibu-ibu tadi adalah abdi dalem putri, yang biasa disebut abdi dalem keparakan. Mereka adalah abdi terdekatnya raja, karena setiap hari mereka harus menyiapkan sajian makan dan minum untuk raja. Beberapa saat kemudian mereka berbaris siap keluar dari patehan. Tanpa alas kaki yang harus menginjak tanah berpasir siang itu tentu terbayang betapa panasnya. Namun hal demikian sama sekali tidak menyurutkan mereka mengabdikan dirinya.
Beberapa nampan tertutup kain mereka usung menuju bangsal keprabon, istana tempat Sri Sultan tinggal. Berpakaian khas abdi dalem keparakan dengan kemben, berkalung samir dan tanpa satupun perhiasan adalah busana keseharian mereka. Pakaian atau ageman para abdi inipun sudah diatur sedemikian rupa dengan aturan-aturan baku kraton dan kesemuanya mengandung makna tertentu.
Matahari kian meninggi, satu persatu bangunan museum kraton ini menyimpan cerita yang luar biasa. Rasanya tak cukup hanya dengan sehari untuk memuaskan hasrat keingintahuan tentang kraton Yogyakarta ini.
Suatu saat aku pasti kembali, menyusur sudut-sudut sekitar kraton yang tak kalah elok dan dengan cerita rakyat yang menggugah semangat berbudaya semakin tinggi.
Phintani Ariestya - @siphint