SELAMA TUJUH BELAS TAHUN merantau di Yogyakarta, pasar rakyat telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup saya. Bagi saya, pasar rakyat merupakan "integrated heritage" yang menjadi tiang utama ekonomi kerakyatan. Berbelanja di pasar rakyat secara rutin, berarti kita telah menghidupkan sektor UMKM dan berperan aktif dalam memperkuat kedaulatan bangsa.
Selain itu, pasar rakyat juga berfungsi sebagai wadah pemersatu bangsa. Di sana, semua pedagang dan pembeli bisa menjalin komunikasi dan berbagi informasi secara aktif, sehingga bisa mempererat jalinan persatuan dan kesatuan dalam bingkai kekeluargaan. Tidak mengherankan, sebagian besar pedagang dan pembeli tampak akrab layaknya saudara.
Di antara jejeran pasar rakyat di Yogyakarta, Pasar Kranggan menjadi pasar rakyat yang paling sering saya kunjungi. Selain lokasinya dekat dari rumah kontrakan saya, Pasar Kranggan sangat kental dengan keberagaman yang dijalin dua tradisi utamanya, yaitu Jawa dan Tionghoa.
Pengaruh tradisi Jawa tampak dari bahasa dan pakaian yang digunakan pedagang/pembeli. Di sana, mayoritas pedagang/pembeli berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa jenis ngoko. Tidak sulit pula menemukan pembeli/penjual yang memakai pakaian batik. Dan, nyaris di setiap penjuru Pasar Kranggan kita bisa menyaksikan kaum perempuan yang memakai jarik atau kebaya.
Selain itu, tradisi Jawa juga tampak dalam produk yang ditawarkan. Misalnya, emping mentah dan kecipir. Presiden RI Joko Widodo pernah blusukan di Pasar Kranggan dan membeli kedua produk tersebut. Tersebar pula produk khas Jawa lainnya seperti: tahu, tempe, bumbu dapur, dan berbagai jenis jamu. Tidak ketinggalan; beraneka jajanan pasar seperti arem-arem, kue talam, clorot, dan mata kebo.
Pengaruh tradisi Tionghoa terlihat nyata dengan keberadaan Klenteng Poncowinatan (Eks Kwan Tee Kiong). Selain berfungsi sebagai rumah ibadah, Kelenteng Poncowinatan juga memperindah lanskap Pasar Kranggan.
Selain itu, pengaruh tradisi Tionghoa tersebar pula dalam produk yang ditawarkan di Pasar Kranggan. Misalnya, bakpia dan aneka panganan dari mie. Dalam sejarah kuliner, keduanya berasal dari negeri nenek moyang etnis Tionghoa, yaitu China.
Mulanya, bakpia dan mie mengandung daging/minyak babi yang tidak bisa dikonsumsi umat Muslim (haram). Kini, sebagian besar bakpia dan panganan dari mie banyak yang bebas dari kandungan daging/minyak babi, bersertifikat halal dari lembaga Majlis Ulama Indonesia (MUI), dan menjadi produk unggulan Pasar Kranggan.
Di Pasar Kranggan, tidak hanya tradisi Tionghoa yang menyatu dengan tradisi Jawa, tetapi juga bersenyawa pula dengan tradisi Nusantara lainnya, seperti masakan padang dan berbagai produk khas daerah lain. Realitas tersebut meneguhkan eksistensi pasar rakyat sebagai pusat keberagaman dan kedaulatan bangsa.
Pada masa darurat pandemi 'covid-19', pemerintah Yogyakarta sempat menetapkan kebijakan "lockdown". Denyut nadi kehidupan di Pasar Kranggan sempat terhenti.