Lihat ke Halaman Asli

Orang-orang Kota dan Pembantaian Kelinci

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelinci akhir-akhir ini menjadi hiburan orang kota. Perkembangan pemelihara di kota lebih marak dibanding di desa. Tetapi tahukah anda ternyata orang-orang kota itu ternyata berperan aktif dalam pembantaian kelinci di Indonesia?

Terasa sumir dan terlalu tendensius memang. Tetapi kita bisa membuktikan dengan analisa berikut ini. Mayoritas perdagangan kelinci berada di pinggir jalan area wisata seperti Batu malang, Lembang Bandung, Cipanas Bogor dan sekarang berkembang pula di beberapa pinggir jalan di kawasan Jakarta. Para pembelinya bukan para petani desa, melainkan orang kota yang dalam sekejap melihat kelucuan kelinci langsung merogoh kocek. Beda dengan petani yang berpikir seratus kali untuk berbuat seperti itu.

Orang-orang kota yang tidak memiliki pengetahuan, bahkan untuk hal-hal kecil seperti jenis pakan, pola pakan, tempat yang layak buat kelinci, perkawinan dan kehamilan serta aneka ragam pantangan kelinci itu tiba-tiba merasa pinter dan nekad membawanya ke rumah. Dua alasan utama yang memicunya, yakni kemampuan membeli dan keinginan (nafsu) untuk mendapatkan hiburan. Orang-orang kota itu tidak pernah berpikir apa sesungguhnya yang menjadi kebutuhan kelinci. Mereka lebih suka mengedepankan egoisme untuk mendapatkan kesenangan dengan mengabaikan kebutuhan kelinci. Satu contoh soal rumput. Karena malas memperoleh rumput, mereka lantas memberi pakan semampu mereka.

Dikira memelihara kelinci seperti memelihara anjing atau kucing. Untuk memprovokasi orang kota para penjual kelinci yang tidak tahu-menahu kelinci itu cukup berkata, “kelinci tanpa rumput bisa, sudah ada pelet komplet, tambahkan saja kangkung, kubis atau sayuran apa saja yang bisa didapat. Mudah kan?

Bahkan orang-orang kota yang berpendidikan tinggi itu bisa dibodohi para bakul berpendidikan rendah dalam hal soal minum. Kelinci tidak boleh minum karena akan mati. Anehnya orang-orang kota itu percaya saja. Padahal pada bangku sekolah SD pun sudah diberi pelajaran bahwa setiap makhluk hidup butuh air.

Tanpa basa-basi lagi kelinci pun dibawa ke rumah. Mereka percaya kelincinya umur 2 bulan, padahal rata-rata kelincinya baru berumur 3-4 minggu yang sudah dibawa beberapa hari dari petani sampai ke kota. Mereka tidak tahu kalau sebentar lagi kelincinya mati karena pencernaannya sedang sakit parah akibat terlalu banyak makan pelet pada usia dini dan stress akibat program minum ASI serta perjalanan jauh. Beberapa hari di rumah biasanya kelinci mencret, murung, atau sakit yang lain. Kebingungan pun melanda, dan tidak lama kemudian mayoritas kelinci itu mati. Hanya sedikit yang bisa bertahan lama. Kalaupun bertahan lama biasanya perlakuan pakan tanpa rumput berlangsung berbulan-bulan. Orang-orang kota yang berlatarbekalang pendidikan dan pergaulan luas itu merawat kelinci seenaknya sendiri tanpa memakai paradigma yang tepat. Sungguh ironi.

Lalu muncul hairball, atau kelinci makan bulu. Oleh orang-orang kota itu dianggap kelainan atau problem biasa. Padahal? Kelinci makan bulu adalah bentuk protes kelinci yang sudah sangat stres karena tidak mendapatkan pasokan serat sesuai kebutuhan dari rumput.

Pelet merek kelinci tidak menjawab. Bahkan di Amerika Serikat sendiri sekarang sudah digalakkan agar pakan pelet komplet harus dihindari. Kelinci tetap butuh pasokan rumput asli untuk menghindari kematian yang lebih banyak.

Orang-orang kota, telah terlibat aktif dalam pembantaian kelinci. Mengapa?

Pasar kelinci di kota menjadi ramai karena orang-orang kota punya duit dan punya nafsu untuk berbahagia dengan kelinci. Beda dengan orang desa yang rata-rata berpikir realistis untuk memelihara hewan piaraan. Orang-orang kota yang nafsunya mudah digoda kesenangan itu membuat para penjual semakin agresif, petshop pun menggelar kelinci. Ini semua karena permintaan pasar. Dan para penjual pun agresif datang mencari kelinci ke desa-desa yang banyak peternak kelincinya. Karena para makelar di desa yang terus diminta permintaan pasokan kelinci merasa tidak efektif datang ke satu persatu petani, mereka memakai jembatan bakul/bandar/calo mencari kelinci anakan ke para petani. Karena tingginya permintaan, maka jenis kelinci tidak masalah, umur pun tidak masalah. Jika perlu memesan anak yang masih dalam kandungan dengan harga per ekor cukup Rp 5 ribu, lalu setengahnya diberikan saat kelinci sudah bisa diambil, yakni umur 20-25 hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline