Lihat ke Halaman Asli

Siska Amelia

Live for your life

Bidadari Tak Bersayap Itu Ibu

Diperbarui: 22 Juni 2022   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

        Barangkali kenyataan bahwa surga berada di telapak kaki ibu memanglah sebuah kebenaran yang hakiki, perjuangannya menggadaikan nyawa demi sang buah hati rela ia pertaruhkan tanpa adanya sebuah syarat dan juga imbalan.

Kasih ibu begitu luar biasa, tanpa ada seorangpun tandingan yang dapat menyainginya. Seketika, aku yang baru tersadar dari jurang kegelapan itu meneteskan air mata. Mengingat bagaimana diriku yang terkadang menaikkan nada tinggi saat ibuku tak mampu menuruti keinginanku.

Bagaimana diriku yang enggan saat disuruh membeli beberapa kebutuhan dapur, bahkan jarak warung dari rumah tak sampai sepuluh menit, hanya karena kesibukanku yang tak terlalu memiliki manfaat. Hingga tentang hal sepele lainnya yang membuat hati ibuku terluka.

Sungguh, mengingat itu semua aku benar-benar menyesal. Ingin kuhapus memori-memori yang begitu kejam itu, namun sayangnya jalan takdir memanglah seperti ini. Takdir memang menginginkan memori itu berputar untuk menyadarkanku tentang sebuah kekhilafan yang begitu besar.

"Nak, Amma. Sini to, bantuin ibu masak. Delok tv ne ngko neh," panggilnya dengan logat jawanya yang kenthal.

Seketika aku yang sedang diam-diam memperhatikan ibuku dari ruang tengah, mengusap air mataku dengan asal. Sebelum ibuku melihat raut wajahku yang saat ini begitu memelas.

Aku pun kemudian beranjak dan kembali membantu ibuku yang sedang memasak Gulai ayam.

"Nonton tv wae, iki ayam e matengke sek, enak spean to nduk le masak daripada ibuk,"  ujarnya sembari menjitak kepalaku.

Aku mengerucutkan bibirku beberapa senti kedepan, sembari mengelus-ngelus kepalaku yang sama sekali tak merasa sakit. Karena jitakan dari ibu yang tak benar-benar serius. 

Ini adalah salah satu taktiknya, saat ibu sedang bermalas-malasan tidak ingin memasak. Maka secara tidak langsung, ibu memintaku untuk menggantikannya dengan alasan bahwa masakanku lebih enak dibandingkan masakan ibu.

Padahal sebenarnya, bagi aku masakan ibu selalu terbaik. Ingin memasak apapun itu, maka rasa yang teracik dari tangan seorang ibu tak akan ada tandingannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline