Lihat ke Halaman Asli

Juni Wati Sri Rizki

Ketua Yayasan Muslimah Peduli Alam

Kedok Syariah, Muslihat Asuransi Konvensional Jerat Nasabah

Diperbarui: 24 Juli 2020   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Sistem ekonomi syariah menjadi trend di Indonesia. Hal ini ditandai dengan menjamurnya bank syariah, baik yang murni syariah, maupun yang sekadar memanfaatkan momentum syariah. Dalam hal ini, bank konvensional membuka anak perusahaan syariah di samping tetap menjalankan sistem konvensional sebagai sistem utamanya. Kondisi ini juga berlangsung di berbagai perusahaan asuransi. Beberapa asuransi konvensional menawarkan sistem asuransi syariah untuk menarik minat calon nasabah. Sayangnya, sistem syariah yang mereka janjikan hanya kedok belaka. Sekadar muslihat dan iming-iming agar calon nasabah tertarik. Hal ini yang saya alami.

Pada bulan Oktober 2008, saya dan suami didatangi rekan sesama PNS. Ia bersama istri dan seorang anak bayinya menginap beberapa hari di rumah kontrakan kami, yang mana pada saat itu saya dan suami sedang tugas belajar, melanjutkan studi di perantauan. Dalam kondisi itu, kami memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk berbincang-bincang dengan mereka. Singkat cerita, ternyata rekan tersebut dan istrinya adalah agen sebuah perusahaan asuransi syariah, anak perusahaan sebuah asuransi konvensional ternama, Prudential. Mereka sudah menyiapkan berbagai formulir, lengkap dengan tabel-tabel ilustrasi dan skema pembiayaan premi. Kami direkrut menjadi nasabah.

Mereka menjanjikan akan memberikan bonus gratis pembayaran premi bulan pertama. Mereka juga menjanjikan bahwa kami hanya perlu membayar premi selama 10 tahun, namun tetap akan mendapatkan manfaat hingga batas usia pertanggungan selesai, dan polis asuransi tersebut bisa kami wariskan. Karena sungkan, ditambah dengan "rayuan maut" yang mereka lancarkan, kami akhirnya luluh. Tanpa menelaah lebih lanjut, saya dan suami menandatangani berkas polis. Saya harus membayar premi sejumlah 300 ribu rupiah perbulan, sedangkan suami membayar 350 ribu rupiah perbulan. Alasan mereka, karena suami saya perokok, sehingga resiko pertanggungan polis lebih besar.

Beberapa bulan pertama, pembayaran premi kami lancar. Namun seiring bertambahnya kebutuhan, pembayaran premi suami mulai tersendat. Saldo di rekening bank beliau tidak cukup untuk diauto debet. Pada akhirnya, polis asuransi suami ditutup dengan sendirinya. Kami terpaksa merelakan uang sejumlah 1,7 jutaan rupiah yang sudah kami setorkan hilang begitu saja.

Pada saat kami memiliki kesempatan untuk pulang ke kampung halaman, kami menyempatkan diri bertemu rekan-rekan seinstansi. Ternyata, banyak di antara rekan kami yang juga sudah direkrut menjadi nasabah, lalu berhenti di tengah jalan. Alasan rekan-rekan, karena merasa tidak ada manfaat dari asuransi yang diikuti. Hanya menambah pengeluaran rutin. Toh, sudah ada Askes (sekarang BPJS) yang memberikan jaminan biaya kesehatan.  Persisnya, mereka juga "terjerat" di awal karena sungkan kepada teman, sekaligus terdorong keinginan untuk turut memakmurkan sistem keungan syariah. Alih-alih merasakan manfaat, kami justru merasakan pertambahan beban pengeluaran rutin setiap bulan. Karena tidak ingin rugi dua kali, dalam kondisi keuangan terbatas, terpaksa pembayaran premi saya tetap berlanjut.

Di tahun 2015, tepatnya memasuki tahun ke 7 pembayaran premi, saya menjalani pengobatan di sebuah rumah sakit di Penang, Malaysia. Sekembalinya dari Penang, saya ingin mengajukan klaim asuransi.

Sayangnya, saya sudah tidak mengetahui keberadaan rekan sekaligus agen yang merekrut saya. Beberapa tahun sebelumnya, ia telah diberhentikan sebagai PNS dengan alasan yang tidak perlu saya sebutkan di sini. Beruntung dengan bantuan kakak kandung, saya dipertemukan dengan seorang agen asuransi prudential konvensional yang masih satu perusahaan dengan asuransi prudential syariah yang saya ikuti. Beliau bersedia membantu mengurus klaim asuransi saya.

Setelah beliau menelaah berkas asuransi saya, saya baru mengetahui bahwa polis asuransi saya hanya bisa digunakan untuk mengklaim biaya rawat inap. Saya sendiri tidak menjalani rawat inap. Hanya rawat jalan. Namun demikian, saya harus menginap di hotel di Penang. Akhirnya, saya harus mendanai pengobatan dengan biaya pribadi.

Dua bulan kemudian, saya harus berangkat lagi ke Penang untuk mengkonsultasikan kondisi kesehatan saya. Sebelum berangkat, saya berkonsultasi kembali kepada agen yang diperkenalkan kakak saya. Kali ini saya ingin mengajukan penarikan tunai dari tabungan polis asuransi saya. Saat itu, jumlah total dana yang sudah saya setorkan sekitar  24 juta rupiah.

Saya ajukan penarikan dana sebesar 21 juta rupiah, karena ada ketentuan untuk penarikan dana polis asuransi prudential syariah harus menyisakan saldo minimal 3 juta rupiah, sedangkan untuk polis konvensional sebesar 1 juta rupiah. Agen tersebut sempat menawarkan untuk mengalihkan polis saya ke asuransi konvensional, namun saya tolak. Pertimbangannya, karena saya yakin sistem syariah akan lebih adil.

Beliau juga menyarankan untuk membuat klaim rawat inap, karena sangat logis kalau saya menginap di Penang, meskipun saya hanya menjalani rawat jalan. Toh, kenyataannya saya memang harus menginap di Penang. Anjuran ini pun saya tolak. Sebab, menurut saya ini adalah sebuah kebohongan. Dalam pikiran saya, saya hanya berhak mengajukan klaim rawat inap jika saya memang menginap di rumah sakit, bukan di hotel. Selanjutnya, untuk memudahkan korespondensi dengan pihak asuransi, saya meminta bantuan agen tersebut untuk mengalihkan metode korespondensi saya dari sms dan surat menyurat manual menjadi email.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline