Lihat ke Halaman Asli

Juni Wati Sri Rizki

Ketua Yayasan Muslimah Peduli Alam

Habiskan Makanmu, di Luar Sana Banyak Orang Kelaparan

Diperbarui: 6 April 2019   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terus terang saya paling sebal melihat orang menyia-nyiakan makanan. Kerapkali saat menghadiri pesta saya membatin, ketika menyaksikan tamu undangan mengambil sejumlah makanan, sekadar mencicipinya, lalu sisanya dibiarkan terbuang sayang. Mubajir!

Kasihan yang punya hajatan, hidangannya berkurang bahkan kurang, hanya karena ulah tamu yang tak bijak mengambil porsi makanan. Tak salah kalau kita ingin mencicipi. Ambillah sekadarnya saja. Jika memang suka, lebih baik nambah lagi. Atau, jika sungkan ya tahan selera. 

Tidak semua orang beruntung bisa makan. Tidak sedikit orang yang mati kelaparan. Bersyukurlah ketika masih diberikan nikmat makanan. Kalaupun kurang pas di lidah, anggap saja itu bagian dari sensasi dan variasi rasa. Toh, banyak orang yang justru tidak punya pilihan, tidak punya apapun untuk dimakan.

Dulu, sekitar tahun 2005, saat saya masih tinggal di rumah kontrakan di Ciputat, si Teteh tetangga sebelah kanan kontrakan saya bercerita, bahwa di kampung suaminya, di salah satu daerah di Jawa Barat banyak penduduk kampung yang terpaksa makan nasi aking, karena tidak mampu membeli beras. Saya tanya, "apa itu nasi aking?"

Si Teteh menjelaskan,  nasi sisa yang sudah tercampur dengan lauk, dijemur, lalu dimasak lagi. Glek, miris hati saya mendengarnya. Saat saya berada di dalam rumah kontrakan, meleleh air mata saya. Benarkah di negeriku Indonesia yang subur dan konon katanya makmur, masih ada orang yang terpaksa makan makanan tidak layak konsumsi seperti itu? 

Di tahun 2008, saya menyaksikan berita di televisi, di Makassar, seorang ibu yang sedang hamil 7 bulan beserta anaknya yang masih balita meninggal dunia karena kelaparan. 3 hari si ibu dan anak-anaknya tidak makan karena ketiadaan makanan. Keluarga dan tetangganya tidak bisa membantu karena sama-sama hidup dalam kemiskinan.

Saat itu saya menonton televisi bersama anak sulung saya yang masih berusia 3 tahun. Saya jelaskan kepadanya kejadian itu. Dengan bahasa yang saya sampaikan, anak saya bisa mengerti. Sejak saat itu saya tidak pernah mengalami kesulitan untuk membiasakan anak-anak menghabiskan makanannya.

Saya selalu mengajarkan mereka untuk tidak menyia-nyiakan makanan. "Diukur perutnya, Nak", itu pesan yang sering saya ulang-ulang untuk mengingatkan anak-anak saya agar tidak serakah saat mengambil makanan.

Hingga kini, anak sulung saya yang sudah berusia 13 tahun, juga adik-adiknya terbiasa makan dengan piring bersih, tanpa tersisa sebutir nasipun. Begitu juga saat makan makanan lainnya. Kalau kira-kira porsi makanannya terlalu banyak (misalnya saat makan di restoran), saya ajarkan mereka untuk menyisihkannya terlebih dahulu sebelum dimakan, supaya tidak jadi makanan sisa.

Begitu pun saat membeli jajanan, saya selalu bilang, "habiskan ya, Nak, jangan dibuang, kalau nggak, besok-besok nggak boleh jajan lagi!", cara itu pun ampuh membuat anak-anak saya hanya memilih makanan yang memang benar-benar mereka sukai, tidak serakah dan tidak bersikap mentang-mentang orang tuanya sanggup memberi uang jajan.

Apakah dengan bersikap seperti itu saya dianggap pelit? Saya kira tidak. Justru itu tandanya bersyukur. Tidak perlu khawatir dianggap pelit atau dianggap kurang duit saat memesan makanan di restoran ala kadarnya sesuai daya tampung perut kita. Tidak perlu mubajir hanya demi gengsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline