Bayangkan begini: Anda, pebisnis yang penuh ambisi, sudah siap membuka usaha. Di benak Anda, urusan pajak? Ah, tinggal sewa konsultan. Gampang. Tapi realitanya? Bukannya selesai, malah tambah ruwet! Yang katanya "beres" malah jadi "berantakan."
Awalnya optimis bertemu konsultan yang janji segalanya beres. "Tenang, Pak/Bu, saya yang handle semua," kata mereka. Tapi apa yang terjadi? Ketika pihak pajak minta data, komunikasi ke klien malah seakan terputus. Giliran Anda butuh info, ujung-ujungnya disuruh "meet up dulu buat survei." Perhitungan biaya? Jadi tarik-ulur yang tak berujung.
Sederet jargon perpajakan yang seharusnya bisa mereka sederhanakan, jadi sekadar basa-basi untuk tampak profesional. Padahal, kalau diperhatikan, di kantor mereka berlagak jagoan, tapi di media sosial? Ah, di sanalah wajah lain muncul. Tiba-tiba mereka jadi 'kritikus' sistem pajak, yang setiap hari mereka hadapi dan urus!
Ironi? Pasti. Mereka adalah bagian dari sistem yang mereka cemooh. Di dalam kantor, jadi "penyelesaian masalah." Di luar, mereka justru ikut-ikutan menjelekkan birokrasi yang mereka jalani sendiri.
Dan jangan harap soal kedalaman materi seperti transfer pricing dan lainnya. Untuk urusan bulanan rutin saja, laporan sering kali ada saja salahnya. Jadi, apa tidak lebih baik langsung belajar sendiri dari internet atau bertanya ke pihak pajak? Apalagi, sekarang modal CV yang terlihat 'wah' bisa diatur; follower di medsos? Mudah dibeli. Begitulah mereka memukau calon klien, membius dengan kemasan yang nyatanya hanya setebal kaca tipis, rapuh kalau dilihat lebih dekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H