Lihat ke Halaman Asli

3 Kisah Inspiratif di Tengah Merosotnya Jumlah Petani di Negeri Ini

Diperbarui: 7 November 2016   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi seorang petani padi di Bogor, Jawa Barat. (credit: bogordaily.net)

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengingatkan kita bahwa di masa depan terdapat 3 komoditas utama yang akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia. Ketiga komoditas tersebut adalah pangan, energi, dan air. Dengan pertumbuhan penduduk yang makin meningkat, namun jumlah petani dan lahan yang cenderung stagnan bahkan menurun, ancaman rawan pangan makin tak terelakkan.

Profesi petani lekat dengan kemiskinan, tidak mengenyam pendidikan tinggi, jauh dari kehidupan modern, termasuk sulitnya akses ke perbankan untuk permodalan, dan banyak kesulitan lainnya. Dengan segala himpitan ekonomi yang mereka rasakan, menyebabkan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus menurun.

Berdasarkan data dari CNN Indonesia, penduduk yang bekerja sebagai petani menurun dari 39,22 juta pada 2013, menjadi 38,97 juta pada 2014. Jumlahnya turun lagi menjadi 37,75 juta pada 2015.

Ironis, bahwa negara yang dikenal sebagai negeri agraris ini, minat generasi muda menjadi petani mengalami kemerosotan, sementara usia rerata petani yang ada saat ini semakin tua.

Tetapi ada baiknya kita tidak terus meratapi data yang terasa miris tersebut, karena ternyata masih ada sosok-sosok petani yang setia di jalurnya. Mereka tetap tekun di bidangnya, mengolah dan menghasilkan produk pertanian sebagai bahan pangan untuk kita semua. Di antara sosok tersebut adalah sebagai berikut:

Akhmad Tamaruddin (62 tahun)

Pak Taman di depan kebunnya. (credit: mongabay.co.id)

Pria yang biasa disapa Pak Taman ini memiliki lahan gambut seluas 1,75 hektar di kawasan Kalampangan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Di lahan miliknya itu, ia sukses menanam sayur mayur seperti cabai, bayam, jagung, beberapa tanaman keras lain seperti pisang, karet, serta jenis buah-buahan rambutan dan jeruk. Konsepnya agroforestri, di mana tanaman keras bersanding dengan tanaman jangka pendek.

Taman merupakan transmigran asal Ngawi, Jawa timur. Ia yang pertama tiba di Palangkaraya tahun 1980, harus berjibaku agar bisa bercocok tanam di lahan yang tanahnya memiliki kadar keasaman sangat tinggi tersebut.

Satu prinsip yang paling luar biasa dari Taman, bahwa ia tidak membuka lahan dengan cara membakar lahan. Hal itu tentunya bukan perkara sederhana, mengingat cara yang dilakukan dengan tanpa membakar ini memang bukan cara paling mudah dan murah.

Taman sempat hampir menyerah dan berniat untuk pulang ke Jawa. Ia beralih bekerja serabutan sebagai kuli bangunan. Niat awal upah hasil kerjanya ia kumpulkan untuk ongkos pulang ke Jawa. Tapi kemudian ia kembali berubah pikiran, dan meyakini bahwa lahan kondisi apapun pasti akan subur kalau diekplorasi.

Prinsipnya dalam bertani tidak berubah, yakni tetap tidak membuka lahan dengan cara membakar. Praktik tersebut diyakini Taman sebagai kegiatan bertani yang berkelanjutan (sustainable) dan mendukung kelestarian lingkungan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline