[caption id="attachment_192817" align="aligncenter" width="529" caption="(udienkampus.blogspot.com)"][/caption] Apakah tidak ada niat pemerintah untuk menjadikan sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa, bukan malah sebaliknya? Apakah tidak ada niat pemerintah untuk mengubah kurikulum dan praktek pendidikan agar tidak menjadikan peserta didik kelak sebagai abdi pemodal semata? Sebab, bila tidak ada perubahan sesegera mungkin di dunia pendidikan nasional kita, maka siap-siaplah kita menjadi bangsa kuli seperti yang diprihatinkan oleh pendiri bangsa ini, Ir Soekarno. Sejarah resmi mencatat, 2 Mei dipilih karena Raden Mas Soewardi Soerjaningrat lahir di tanggal dan bulan tersebut. Priyayi Jawa dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini lahir di tahun 1889, dan dikenal luas sebagai aktifis pendidikan bagi warga pribumi dengan cara mendirikan sekolah bernama Taman Siswa. Berbarengan dengan itu, ia meninggalkan kepriyayiannya dengan cara menanggalkan nama dan gelar kebangsawananya dan menamai dirinya sendiri dengan nama Ki Hajar Dewantara. Saat peringatan 100 tahun Kerajaan Belanda di tahun 1913, Ki Hajar Dewantara menyitir penjajahan Belanda dengan tulisan bertajuk Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). 98 tahun setelah kritik Ki Hajar Dewantara itu, keadaan pendidikan nasional kita tak juga berubah. Jika dulu Ki Hajar Dewantara mengkritik sikap kolonialisme Belanda yang memaksa masyarakat Nusantara untuk memberikan sumbangan guna mengongkosi perayaan Kerajaan Belanda, maka kini masyarakat tetap dipaksa untuk membiayai pendidikan nasional yang mahal namun tanpa substansi. Dan yang memaksa itu adalah pemerintah sendiri. Ongkos mahal pendidikan itu tidak hanya dari biaya sekolah yang harus ditanggung orangtua murid setiap bulannya, melainkan juga berbagai biaya lainnya yang terkesan dipaksakan keberadaannya demi kepentingan kapital sekolah, serta demi memenuhi target pemerintah. Tidak heran kalau di masa kini kita bisa melihat seorang pelajar sekolah dasar (SD) kelas 1 atau 2 sudah harus menyandang tas sekolah yang berisi banyak buku pelajaran sekolah. Sekolah saat ini bukanlah arena yang mengasyikan bagi setiap murid untuk belajar dan bermain sekaligus. Bahkan di tingkat taman kanak-kanak (TK) pun, sekolah seolah berubah fungsi menjadi pabrik pencetak mesin-mesin handal. Penulis masih ingat, saat sekolah dahulu masih bisa menggunakan buku pelajaran bekas saudara kandung yang naik ke kelas lebih tinggi. Penulis juga masih ingat, saat bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK) dahulu, masih lebih banyak permainan kreatif yang diajarkan guru ketimbang diwajibkan menguasai banyak mata pelajaran. Pepatah mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Mungkin kini pepatah itu bisa diganti menjadi guru dan murid sama-sama kencing berlari. Artinya, kalau dulu guru melakukan kesalahan, maka sang murid akan meniru, bahkan melakukan kesalahan yang lebih hebat. Dan kini, guru dan murid sama-sama melakukan kesalahan yang dirancang bersama. Guru dan murid sama-sama kencing berlari, demi memenuhi ambisi masing-masing, di mana guru ingin memenuhi target pemerintah, murid ingin memenuhi target orangtua. Itulah potret dari buramnya pelaksanaan pendidikan nasional kita beberapa tahun terakhir ini, paling tidak bisa dilihat dari pelaksanaan ujian nasional (UN) yang terlihat seperti hantu yang begitu menakutkan bagi guru, murid, bahkan orangtua. Saya tidak pernah yakin bahwa semua guru berbuat curang. Saya tak pernah yakin semua pelajar bermental pengecut. Dan saya juga tidak pernah yakin, orangtua ingin anaknya lulus dengan cara tidak jujur. Tetapi, paparan media massa, temuan sejumlah aktifis pendidikan, dan gerak cepat pihak berwajib dalam menemukan berbagai aksi kecurangan pelaksanaan UN menjadi kabar yang begitu memilukan hati. Inilah ironi yang menjadi bagian dari Hari Pendidikan Nasional yang kita peringati setiap tanggal 2 Mei. Pendidikan dijalankan untuk memenuhi permintaan pasar, yakni mampu menciptakan lulusan sekolah yang bisa dijadikan pekerja yang handal. Kalau sudah begini, apa bedanya dunia pendidikan kita saat ini dengan zaman kolonial Belanda. Sejarah mencatat dengan teliti dan tepat, kolonial Belanda membolehkan putra-putri pribumi untuk belajar agar bias sekedar bisa membaca, menulis, dan berhitung. Setelah itu, maka pribumi yang bisa menulis, membaca, dan berhitung itu harus mengabdi dan bekerja di perkebunan-perkebunan yang dibangun Belanda sebagai tenaga administrasi yang dibayar murah. Hanya sedikit pribumi yang diperbolehkan bisa mengikuti jenjang pendidikan tinggi, dan itu terbatas pada keluarga feodal kerajaan. Bukankah sekolah seharusnya adalah menjadi arena yang membebaskan bagi siswa dan penyelenggara pendidikan itu sendiri? Bukankah sekolah seharusnya menjadi alat yang mampu membebaskan para pelajar agar lebih berkreasi dan menghargai alam dan sekitarnya? Ingatkah kita kisah Toto Chan, nama kecil dari Tetsuko Kuroyanagi, penulis sekaligus wartawati NHK, sebuah stasiun televisi nasional Jepang. Dalam bukunya berjudul Toto Chan: Gadis Cilik di Jendela, Tetsuko Kuroyanagi menceritakan tentang pendidikan yang tidak lazim dilaluinya. Ketika anak-anak seusianya belajar dengan serius di sekolah, ia malah berseloroh dengan seekor burung gereja yang hingga di daun jendela kelas. Ini membuatnya dianggap pihak sekolah sebagai pengganggu. Oleh orangtuanya, Toto Chan akhirnya dipindahkan ke sekolah alternatif bernama sekolah Tomoe Gakuen, yang didirikan seorang pendidik hebat Sosaku Kobayashi. Di sekolah ini, Toto Chan dan semua temannya bersekolah di gerbong-gerbong keretaapi yang sudah tidak dipakai lagi. Mereka tidak diminta untuk menghafal matapelajaran, melainkan memelajari alam di sekitarnya dan kemudian mendiskusikannya. Guru mereka bukanlah sarjana pendidikan yang datang mengajar dengan gaya berwibawa, melainkan petani dan nelayan yang dibawa ke depan kelas untuk menerangkan apa itu alam. Oleh Pak Kobayashi, Toto Chan dan teman-temannya dibawa ke sawah, ladang, laut, sungai, untuk melihat alam yang sesunguhnya. Penulis tidak bermaksud mengajak pembaca untuk meniru persis sekolah versi Pak Sosaku Kobayashi. Namun, tidakkah bisa kita -terutama pemerintah yang memiliki kekuatan melalui dana dan kebijakan- menjadikan sekolah sebagai arena yang membebaskan seperti kata tokoh pendidikan Brazil, Paulo Freire, atau menjadi tamansari bagi para siswa seperti yang diharapkan pejuang pendidikan nasional kita, Ki Hajar Dewantara?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H