Lihat ke Halaman Asli

Merindukan Ruang Publik yang Bebas Ideologi

Diperbarui: 30 September 2015   17:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merindukan Ruang Publik yang Bebas Ideologi

[caption caption="Ruang Publik untuk semua"][/caption]

Public spaces for all, slogan yang enteng tapi juga membuat saya prihatin. Apakah memang ruang publik itu tidak untuk semua? Namanya juga ruang publik tentunya semua orang memungkinkan untuk berada dalam ruang tersebut dan menggunakannya secara bersama-sama, ada begitu banyak ruang publik yang tersedia di kota, namun ruang publik seperti apa yang dimaksudkan di sini. Bukankah stasion kereta, bandara, jalan raya, supermarket juga ruang publik, bahkan organisasi sosial juga ruang publik, diamana setiap orang bisa menggunakannya secara bersama-sama, setiap orang bisa bertemu dan berinteraksi di sana. Rasa prihatin saya adalah bahwa slogan public spaces for all juga mengindikasikan bahwa ada ruang publik yang ternyata dalam memfungsikannya tidak bisa digunakan secara bersama-sama, atau hanya digunakan oleh kepentingan pihak tertentu.

Bagi saya, tidak ada yang unik dari kampanye ‘public spaces for all’ sebab secara fungsi ruang publik yang ada saat ini telah dan masih bisa diakses atau digunakan secara bersama-sama oleh khalayak umum, walapun dari sisi kenyamaan masih jauh terbelakang dibandkan dengan Negara-negara lain seperti Inggris atau Swedia. Slogan public spaces for all ini menjadi serius sekaligus prihatin bagi saya bahwa ruang publik di negara kita saat ini secara psikis ternyata tidak bebas dan sangat dikuasai oleh kekuatan pasar. Betapa ruang publik kita hari ini telah disetir oleh kepentingan ekonomi pihak tertentu, dari tepi jalan, bandara, stasiun kereta, terminal bus, hingga taman kota, yang disebut-sebut sebagai ruang terbuka hijau. Iya, setiap orang memang boleh mengaksesnya, boleh menggunakannya secara gratis namun, disitulah mata dan psikis orang dipaksa oleh iklan-iklan komenrsial yang bertebaran. Bagimana bisa orang didikte oleh produk tertentu saat membaca papan nama stasiun, terminal bus atau saat melihat rambu lalulintas di tepi jalan raya, dimana papan nama atau reklame itu sertai dengan rekalame sebuah produk sebagai sponsor. Itu banyak ditemukan pada ruang-ruang publik seperti terminal bus, stasiun kereta, bandara dan sebagainya.

Selain itu, sebuah ruang terbuka bisa saja ditata oleh pihak tertentu dengan catatan memasang atribut atau iklan produk mereka di sana. Tentunya ini dilakukan atas kerjasama dengan pemerintah dengan terminologi partnership, namun pemerintah seolah lupa soal aspek ketenangan psikis khalayak. Sejak melangkah keluar rumah, ke terminal/stasiun hingga kembali ke rumah mata orang selalu didikte oleh ikalan-iklan kemersial dan terkesan memaksa khalayak terus didikte oleh iklan produk tertrntu. Sehingga jika slogan public spaces for all itu lebih mengarah pada sisi pengamanan psikis khalayak maka bagi saya itu sangat penting dan perlu ditatat secara lebih baik. Tidak perlu juga kita mendefisiskan lagi apa itu ruang publik, sebab sudah cukup jelas. Namun secara fungsinya perlu ditata dan difungsikan secara lebih aman dan nyaman. Bagi saya ruang publik di perkotaan, secara khusus yang dimaksudkan dengan ruang terbuka hijau, perlu dibebabaskan dari ideologi apapun, termasuk idelogi pasar, ideologi agama juga partai politik. Ruang publik yang bebas ideologi yang saya masksudkan adalah ruang dimana orang-orang secara bersama-sama menikmati kebebasan di alam terbuka dalam kota. Tempat dimana orang melapas kepenatan, menikmati kedamaian, besama keluarga, sahabat dan kerabat. Sehingga ruang-ruang seperti ini harus bebas dari kepentingan komersial. Ruang yang bebas dari atribut pihak tertentu termasuk parati politik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline