Sebuah kutipan pidato Bung Karno yang sangat terkenal, "Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia". Kutipan tersebut ingin menegaskan bahwa masa depan bangsa Indonesia berada di tangan para pemudanya yang kelak akan menjadikan Indonesia menjadi negara maju dan terdengar lantang di mata dunia. Namun, yang menjadi sebuah pertanyaan adalah apakah para pemuda Indonesia di zaman kontemporer ini siap menanggung beban tersebut?
Saat ini, Indonesia memiliki visi yang sangat besar atau biasa disebut dengan Indonesia Emas 2045 yang akan dirayakan tepat Hari Kemerdekaan ke-100 pada tahun 2045 mendatang. Visi tersebut adalah untuk menjadi bangsa yang berdaulat, progresif, adil, dan makmur. Untuk mewujudkan visi ini, Indonesia membutuhkan generasi pemuda yang berkualitas. Akan tetapi, situasi dan kondisi pemuda zaman sekarang atau Gen Z tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut karena visi ini sangat bergantung penuh dengan produktivitas masyarakat.
Pada tahun 2023, data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menyatakan bahwa sebanyak 9,9 juta Gen Z di Tanah Air yang berusia 15-24 tahun yang semestinya sedang berada di masa produktif, justru berada di golongan not in education, employment, and training (NEET). Sebenarnya, penyebab banyaknya Gen Z yang sulit mencari pekerjaan sangatlah kompleks, tetapi terdapat 1 penyebab yang menjadi akar permasalahan yakni mental Gen Z itu sendiri. Hal tersebut diperkuat oleh banyaknya Gen Z yang memilih untuk bekerja di sektor informal dibandingkan formal, tentunya karena tekanan yang diberikan pada sektor informal lebih sedikit dibandingkan informal.
Krisis mental yang dialami oleh Gen Z ini tentunya sangat dipengaruhi oleh globalisasi. Perkembangan teknologi di era globalisasi membuat hampir semua hal menjadi mudah. Hal tersebut membuat Gen Z sangat bergantung dengan teknologi. Salah satu contohnya adalah adanya teknologi AI (Artificial Intelligence) yang berupa situs Chat GPT. Situs tersebut sedang marak digunakan oleh Gen Z karena dapat membuat tugas-tugas mereka baik dari sekolah atau instansi lain dalam hitungan detik saja. Kebiasaan dimanja dan menyelesaikan sesuatu dengan instan itulah yang membuat mental Gen Z lemah sehingga tidak dapat menghadapi persoalan yang sulit.
Selain AI, media sosial juga berpengaruh negatif terhadap kesehatan mental Gen-Z. Merujuk pada temuan penelitian Fazida Karim tahun 2020 dalam jurnalnya bertajuk "Social Media Use and Its Connection to Mental Health: A Systematic Review", jurnal tersebut menjelaskan bahwa penggunaan media sosial yang berkepanjangan dapat menyebabkan depresi, stres, dan masalah kesehatan mental lainnya. Hal tersebut disebabkan mereka yang menggunakan media sosial cenderung membandingkan gaya hidupnya dengan influencer-influencer di platform tersebut. Dari sini, muncullah perasaan tidak percaya diri jika tidak bisa mengikuti gaya hidup mereka atau disebut dengan insecure. Dari insecure, terbitlah perasaan takut jika tidak bisa mengikuti gaya hidup mereka yang biasa disebut dengan FOMO (Fear of Missing Out), yang apabila Gen Z gagal mengikuti perasaan FOMO-nya, maka ia cenderung depresi. Hal inilah yang menjadi alasan mental Gen Z lebih lemah dibandingkan generasi milenium ataupun sandwich, karena di jaman mereka, tidak ada yang namanya media sosial atau AI secanggih sekarang.
Mental yang lembek dan ingin menyelesaikan segala sesuatu dengan instan membuat Gen Z kewalahan ketika menyentuh dunia kerja. Persaingan yang semakin ketat karena padatnya modal tidak diiringi dengan perkembangan industri di Indonesia membuat Gen Z depresi. Kemampuan-kemampuan yang diperlukan di bidang-bidang pekerjaan yang tidak bisa dipelajari secara instan membuat Gen Z malas mempelajarinya. Pada akhirnya, kurangnya skill dan lemahnya mental membuat Gen Z memutuskan untuk menjadi pengangguran atau bekerja di sektor informal. Tentunya, hal ini memerlukan solusi sesegera mungkin karena jika tidak, maka bukannya Indonesia Emas yang terwujud, melainkan Indonesia Cemas.
Untuk mengatasi permasalahan produktivitas Gen Z, pemerintah harus segera turun tangan. Pertama, untuk mengatasi kualitas kemampuan atau keterampilan Gen Z yang masih rendah, pemerintah harus mengalokasikan sebagian anggaran untuk membangun fasilitas pendidikan di daerah terpencil. Hal ini penting karena menurut Sakernas BPS, mayoritas angkatan kerja tahun 2022 hanya berlatar belakang pendidikan SMP ke bawah sehingga tidak dapat memenuhi persyaratan lapangan kerja formal. Selain kualitas kemampuan, kuantitas lapangan kerja yang sedikit juga menjadi suatu permasalahan. Mengingat banyak Gen Z yang bekerja di sektor informal, pemerintah harus memberikan bantuan modal untuk pendirian UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) agar dapat memperluas lapangan kerja. Untuk sektor informal, pemerintah dapat menanam modal pada perusahaan-perusahaan lokal karena lapangan kerja lokal akan menghasilkan persaingan dalam negeri yang lebih kendur dibandingkan persaingan internasional.
Tidak hanya solusi eksternal, solusi internal juga diperlukan. Percuma saja fasilitas-fasilitas pendidikan ataupun lapangan kerja yang telah dibuat pemerintah apabila kita sebagai Gen Z masih memiliki ketergantungan akan teknologi yang membuat mental kita lemah. Kalau begitu, bisa dikatakan bahwasanya Indonesia hanya merdeka dari luar saja. Dengan kata lain, Indonesia hanya bebas ketergantungan dari Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis, Inggris, dan Jepang, tetapi tidak dengan ketergantungan akan teknologi. Dahulu, para pahlawan telah berjuang meraih kemerdekaan dengan membebaskan negara Indonesia dari belenggu penjajah. Sekarang, giliran kitalah sebagai generasi emas untuk berjuang meraih kemerdekaan lagi dengan membebaskan Indonesia dari ketergantungan akan teknologi. Teknologi boleh digunakan, tetapi jangan sampai membuat kita lupa akan kemampuan diri kita sendiri. Maka dari itu, kita harus membatasi penggunaannya dan yang dapat melakukannya hanyalah diri kita sendiri.
Terakhir, saya ingin menutup dengan sudut pandang saya akan arti kemerdekaan sesungguhnya sebagai rakyat Indonesia. Menurut saya, merdeka merupakan saat di mana kita sebagai rakyat Indonesia bebas untuk mengembangkan diri kita tanpa bergantung dengan hal apa pun itu. Oleh karena itu, teman-teman senasib dan seperjuangan, saya ingin kita tidak menyia-nyiakan usia emas Indonesia. Kita, Gen Z, dan pemuda-pemuda lainnya adalah pilar harapan bangsa yang memiliki tanggung jawab besar mengemban nama negara kita, Negara Indonesia. Jangan sampai internet, media sosial, ataupun AI membatasi kreativitas dan intelijen kita para pemuda. Mari kita semua bersatu dengan penuh semangat agar niscaya visi Indonesia Emas 2045 dapat tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H